Skip to main content

Inggris dan Puan Kelana

Ketika mendengar sekilas lagu Puan Kelana milik Silampukau ini, saya langsung berniat untuk suatu kali menulis blogpost tentang lagu ini. Namun akhirnya niat itu lama terabaikan sampai akhirnya saya menulisnya hari ini setelah tadi pagi, playlist yang saya setel random memutar lagu ini, ketika pikiran saya sedang galau mikirin beasiswa keluar negeri. Ini, saya pikir, ini pasti yang di atas sana lagi bercanda deh...



Ah, kau Puan Kelana, mengapa mesti ke sana?
Jauh-jauh Puan kembara, sedang dunia punya luka yang sama.

Masalah beasiswa ke luar negeri ini selalu jadi salah satu poin yang muncul dalam topik perdebatan kami. Semua orang tahu dari dulu saya seorang yang ambisius dalam hal akademik, dan kuliah keluar negeri selalu jadi salah satu mimpi saya, dan saya bahkan berniat untuk menyelesaikannya sebelum umur 25.

Fast forward, saya dua kali mendaftar beasiswa via kantor dan tiga kali mendaftar sendiri. Yang via kantor berakhir blacklist karena saya tidak datang wawancara akhir, keduanya saat saya sedang hamil. Dua dari tiga yang saya daftar sendiri, saya berhasil mendapatkannya. Dan selama dua tahun, saya juga mendapat empat offer letter dari tiga universitas, dua di Inggris dan satu lagi di Australia. Salah satunya adalah universitas impian saya.

Tapi, seperti juga semua orang tahu, saya punya banyak hal yang menahan saya di sini, yang kalau saya ceritakan saya takut jadi mengasihani diri sendiri. Jadi mimpi kuliah di luar (yang padahal tinggal berangkat ini) saya akan kubur dalam-dalam dengan senang hati. Walaupun kegalauan tetap sering muncul, terutama jika saya membandingkan diri dengan yang sama-sama sudah menikah dan menjadi ibu, saya sering iri kenapa si A bisa kuliah di luar dengan ninggalin suami dan menitipkan anak kepada orang tua, kenapa si O bisa kuliah membawa serta anak dan suami, kenapa saya tidak punya kemewahan itu... kenapa begini kenapa begitu. Toh saya juga banyak punya kemewahan lain. Saya bisa terus bersama anak-anak, bisa tetap ke Inggris, bisa tetap meraih gelar master, bisa keliling Eropa bersama suami dan anak...

Dan saya ingin bisa berhenti menyalahkan orang lain karena ini pilihan yang saya ambil sendiri. I want to man up and face life. 

Mari, Puan Kelana, jangan tinggalkan hamba.
Toh anggur sama memabukkannya.
Entah Merlot entah Cap Orang Tua.

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku