Skip to main content

Cerita dari Derawan


Saya baru pulang dari Derawan beberapa waktu yang lalu. Tentunya saya merasa bersyukur bisa mengunjungi salah satu spot diving terbaik di Asia, bener-bener pulaunya indah banget, lautnya jernih, terumbu karangnya bgus-bagus, pasirnya putih, banyak penyu... ah pokoknya surga dunia yang diteteskan ke bumi deh. 

Karena akses ke sana yang masih susah, Derawan terhitung masih sepi, nggak ada turis lokal tuh selama saya di sana. Ada beberapa turis mancanegara, itu pun kebanyakan tinggal di situ agak lama buat meneliti. Jarang yang benar-benar cuma mau liburan aja. 

Terus ya, secara kebetulan pas di sana saya ketemu kakak kelas waktu SMA yang jadi dokter PTT di sana dan kami ngobrol tentang keadaan pulau dan penduduknya.

Lalu saya jadi sedikit sedih.

Di pulau ini listrik baru ada di atas jam enam sore. Nggak ada bank jadi kakak kelas saya kalau mau ambil gaji yang nggak seberapa harus naik speed ke daratan. Dia satu-satunya dokter di pulau, jadi dia sekaligus dokter kandungan dan dokter gigi, hehehe. Kalau mau beli apa-apa harus ke pulau sebelah. Transportasi susah.

Terus saya sempat ngobrol sama salah satu penduduk lokal, katanya dia berharap pulau ini diambil aja sama Malaysia agar dia bisa merasakan pembangunan. Bisa merasakan ada sekolah, fasilitas kesehatan, listrik.

Saya patah hati banget mendengarnya. Mungkin kalau buat yang nggak lihat langsung keadaannya, bakalan gampang bilang orang itu nggak nasionalis. Tapi, man, gimana coba dia mau nasionalis, cinta tanah air saat negaranya nggak bisa menyediakan penghidupan yang layak buat dia. Saya jadi ingat kasus Sipadan dan Ligitan yang sekarang katanya maju banget. Pantesan aja ya dulu penduduk kedua pulau itu lebih pilih ikut Malaysia. Mereka silau lihat pulau seberang yang makmur dan gemerlap sementara di sini nggak ada apa-apa.

Semoga aja ke depannya Derawan lebih diperhatikan dan bisa tersentuh pembangunan, sayang banget kan kalau beneran jatuh ke negeri tetangga. Hufftt...

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,...

Sekolah Baru

Selamat tahun ajaran baru! Tahun ini Mbak Rocker masuk Sekolah Dasar di sekolah swasta yang sudah kami pertimbangkan bersama masak-masak selama beberapa waktu lamanya. Tambahan yang tak terduga, si Racun Api mendadak mogok sekolah di sekolah lamanya sehingga kami memutuskan untuk memindahkannya ke Taman Kanak-Kanak yang satu yayasan dengan sekolah kakaknya sekarang. Tentu saja walaupun mendadak dan tanpa rencana, proses pindah sekolah ini berlangsung dengan huru-hara dan drama singkat yang puji syukur bisa teratasi tanpa perlu ikut drama di media sosial. Yang penting, tahun ajaran baru datang dan anak-anak sudah bersekolah di sekolah baru. Amin! Allahu akbar! Bersekolah di sekolah baru ini, sungguh membuka mata saya tentang banyak hal. Terutama, tentang bagaimana rasanya menjadi minoritas. Saya lupa apakah sudah pernah bercerita, tetapi sekolah anak-anak yang sekarang menggunakan bahasa Inggris dan Mandarin sebagai pengantarnya. Tentu saja kami sudah tahu sebelumnya, dan bahkan ...

Cyin, Pertanyaan Lo Gengges Deh!

Kemarin, entah untuk ke berapa ratus kalinya saya mendapat pernyataan (sekali lagi pernyataan bukan pertanyaan) yang sama: "Kamu kok nggak nikah-nikah sih." Saya sih sudah kehilangan selera menjawab. Soalnya, apa pun jawaban saya pasti salah deh. Mereka yang ngajak ngomong itu emang nggak niat pengen diskusi, apalagi perhatian. Niat mereka cuma mencerca dan menyudutkan, itu saja. Jadi mau saya jawab apa pun, selalu di-counter lagi sama dia. Saya sampai hafal kalau saya jawab A, mereka bakal balas B. Misalnya saya jawab, pengen kuliah lagi, pasti mereka balas, apa sih artinya pendidikan tinggi kalau nggak punya keluarga, apa yang mau diharapkan nanti di masa tua, pasti hidupnya hampa. Lalu kalau saya jawab lagi, prioritas hidup orang kan beda-beda, siapa tahu bagi mereka yang karir dan pendidikan tinggi tapi nggak membangun keluarga itu emang nggak pengen berkeluarga, kan? Siapa tahu mereka bahagia hidup sendiri. Tapi kalau saya jawab begini, pasti jadi panjang, dan s...