Saya baru pulang dari Derawan beberapa waktu yang lalu. Tentunya saya merasa bersyukur bisa mengunjungi salah satu spot diving terbaik di Asia, bener-bener pulaunya indah banget, lautnya jernih, terumbu karangnya bgus-bagus, pasirnya putih, banyak penyu... ah pokoknya surga dunia yang diteteskan ke bumi deh.
Karena akses ke sana yang masih susah, Derawan terhitung masih sepi, nggak ada turis lokal tuh selama saya di sana. Ada beberapa turis mancanegara, itu pun kebanyakan tinggal di situ agak lama buat meneliti. Jarang yang benar-benar cuma mau liburan aja.
Terus ya, secara kebetulan pas di sana saya ketemu kakak kelas waktu SMA yang jadi dokter PTT di sana dan kami ngobrol tentang keadaan pulau dan penduduknya.
Lalu saya jadi sedikit sedih.
Di pulau ini listrik baru ada di atas jam enam sore. Nggak ada bank jadi kakak kelas saya kalau mau ambil gaji yang nggak seberapa harus naik speed ke daratan. Dia satu-satunya dokter di pulau, jadi dia sekaligus dokter kandungan dan dokter gigi, hehehe. Kalau mau beli apa-apa harus ke pulau sebelah. Transportasi susah.
Terus saya sempat ngobrol sama salah satu penduduk lokal, katanya dia berharap pulau ini diambil aja sama Malaysia agar dia bisa merasakan pembangunan. Bisa merasakan ada sekolah, fasilitas kesehatan, listrik.
Saya patah hati banget mendengarnya. Mungkin kalau buat yang nggak lihat langsung keadaannya, bakalan gampang bilang orang itu nggak nasionalis. Tapi, man, gimana coba dia mau nasionalis, cinta tanah air saat negaranya nggak bisa menyediakan penghidupan yang layak buat dia. Saya jadi ingat kasus Sipadan dan Ligitan yang sekarang katanya maju banget. Pantesan aja ya dulu penduduk kedua pulau itu lebih pilih ikut Malaysia. Mereka silau lihat pulau seberang yang makmur dan gemerlap sementara di sini nggak ada apa-apa.
Semoga aja ke depannya Derawan lebih diperhatikan dan bisa tersentuh pembangunan, sayang banget kan kalau beneran jatuh ke negeri tetangga. Hufftt...
Comments
Post a Comment