Skip to main content

Posts

Showing posts from April, 2011

Merah Muda

Mereka berbicara dalam bahasa bunga-bunga, seakan-akan dalam setiap kata yang diucapkannya, ada semburat merah muda melayang ke udara. Mereka berbicara dalam dialek para peri, seakan mereka tak benar-benar berbicara, hanya melayang dan menari. Mereka menautkan tangan, namun di mataku bagai tanda tangan darah, di atas selembar janji kepada kehidupan. Mereka membuatkanku sekat kaca dengan pemandangan indah, mereka terus berbicara, namun di telingaku kini terdengar suara mereka bernyanyi. Tidakkah kau dengar? Pekik bunyinya menembus semua surga yang tak kutahu ada.

Girl, Interrupted

Oke, saya tahu ini film dua belas tahun yang lalu dan alangkah ketinggalan jamannya saya yang baru nonton. Tapi, sungguh, ini menjadi salah satu film terbaik yang pernah saya nikmati (hanya pendapat, jangan ajak berdebat). Dan juga, film pertama di mana saya mengagumi Angelina Jolie tak sebatas eksotismenya (pantaslah dia dapat Oscar di film ini). Dan sungguh, mungkin menggila adalah satu-satunya cara bertahan waras. Dan mempertanyakan kewarasan diri, mungkin adalah salah satu tanda kewarasan sesungguhnya. Yang terlalu gila sunggguh takkan merasa dirinya gila.

dan kau berikan aku setangkai primrose*

Percakapan di malam terakhir liburan pendek kami, saat dia sedang memegang tangan saya. Saya : Lihat nih tanganku pecah-pecah beb, gara-gara kena deterjen cair. Dia   : Hmmm... gak papa, ini kan tangan yang penuh kasih sayang. Udah banyak yang dilakukan tangan ini     buat aku, masakin aku tiga kali sehari, ngompres aku waktu sakit, dan yang paling penting selalu ada buat dipegang waktu aku sedih. Adakah yang bisa membuatku tersenyum lebih lebar? * bahasa bunga primrose adalah: aku tak bisa hidup tanpamu

Violet Biru*

percayalah, hati lebih dari ini pernah kita lalui. jangan henti di sini. (Float) *silakan menemukan sendiri :)

ingin kusampaikan kepadamu, hari ini, karena dinding hatiku mendadak dicat biru

tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu itu tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu   tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu (Sapardi Joko Damono)

kuberikan (lagi) setangkai mawar kuning*

  hari ini, lagi-lagi, cubitan itu terasa di hati. dia datang seperti aroma bawang goreng dari dapur yang belum tertutup pintunya. sejujurnya aku malu. pada ketidakrelaanku, juga keegoisanku. kau melihatnya? *saya tidak tahu bagaimana di Jepang yang terkenal dengan bahasa bunga, tetapi di Inggris pada zaman Victoria, mawar kuning memiliki bahasa bunga "kecemburuan"

G, G, Go, Google!

Pernah berharap bisa meng-google perasaan seseorang tentang kita? Saya sering. Dulu saat hati masih selabil tanah rawa, saya selalu ingin tahu tentang apakah cowok lucu yang sedang saya suka juga paling tidak menyadari keberadaan saya. Atau apakah dia yang selalu mengisi hari-hari alam mimpi saya juga merasa yang sama, atau menganggap saya cuma teman, keranjang sampah tempat berbagi keluhan dan lelucon konyol. Mengapa saya ingin meng-google-nya? Diakui atau tidak, saya sebenarnya sudah tahu, tanpa perlu meng-klik "I'm feeling lucky". Segalanya terlukis sejelas tanda dilarang parkir di depan zebra cross, tapi saya sedang tidak rasional. Saya sedang jatuh cinta. Mata saya tertutup oleh bunga-bunga perasaan saya sendiri. Kalaupun saya menduga-duga (baca:yakin) dia juga mempunyai perasaan yang sama, saya ingin tetap bertanya-tanya seperti akuntan yang berpegang pada konservatisme dalam menakar untung rugi. Saya tidak mau terbang tinggi lalu dikecewakan ketika tern

Equator

yang terik namun selalu berhujan. yang rapuh tapi bebas guncangan. yang gulita meski energimu berjuta. mari kita saling menerima, walau ini kencan buta. kubiarkan keras tamparanmu menempaku jadi baja. dan lembut sinarmu kala pagi menyapa, mengubah krisan kuning jadi biru muda. langitmu, hitam mataharimu, dan tetes embun pagi yang tak pernah hadir. mengaliri darahku, selamanya.

Tak Perlu Surat Balasan, Kawan

The only true love is unrequited love. (Signora Malena) Hai, kamu. Terkejutkah kamu kalau saya mengatakan dengan jujur dan setulusnya, seandainya seluruh pria yang saya kenal di dunia ini dinilai berdasarkan berbagai aspek kualitas dan seluruh nilainya digabungkan dan dirata-rata, kamu adalah yang rangking satu buat saya? Tidak? Ya? Harusnya tidak. Atau ya. Tapi lebih tepat tidak karena begitu sering saya mengucapkan itu sama kamu. Dulu, saya menjadi sangat tergantung sama kamu. Secara emosi. Apakah saya mencintaimu (dulu)? Entahlah. (sekarang, saya pun tak bisa pasti menjawab tidak, apalagi ya). Saya membutuhkanmu. Secara kedekatan emosi. Saya tidak rela sewaktu kamu memilih malam mingguan di tempat itu bersama teman-temanmu. Saya benci setengah mati ketika kamu tenggelam di bagian lain duniamu, pulau tropis milikmu dan mereka di mana di sana saya tidak eksis buat kamu. Saya menyeberangi laut itu untuk bisa bersama kamu. Kamu mengulurkan tangan menyambutku, mereka

pulang

Dan lalu, air mata tak mungkin lagi kini bicara tentang rasa. Bawa aku pulang, rindu! Segera. (Float) "Aku menghormatimu karena aku menghargai dia yang kucintai dan mencintaimu." Pernah kuucapkan kalimat sekejam itu padanya, entah nyata atau dalam mimpi. Apa reaksinya saat itu? Menangis? Membisu? Bagiku semuanya seperti tawa mengejek di masa itu, dan aku muak. Muak akan segala. "Aku tidak pernah memilihmu. Bukan mauku kita bertemu di dunia ini." Itu juga pernah kuteriakkan. Lalu aku berdemonstrasi memprotes Tuhan. Kini, bertahun kemudian, setelah aku berdamai dengan diriku sendiri dan juga dengan Tuhan, baru aku bisa sedikit menakar seperti apa perasaannya. Dulu dan juga saat ini. Beberapa hal di dunia ini adalah vonis tanpa opsi banding. Aku hanya harus mencuci otakku sendiri bahwa hukuman seumur hidup bisa menyenangkan kalau aku memandangnya sebagai: punya tempat tinggal bebas sewa, makan gratis, tidak perlu mencari pekerjaan yang memba

Satu-satunya

gambar dari sini Aku terlalu mudah berubah, juga terlalu banyak mau. Seperti bunga pukul empat atau sutra bombay, sebentar bermekaran indah sebentar layu, hanya saja dalam siklus tak tentu. Sebentar bersenang sebentar menangis. Punya keinginan segudang yang sebentar juga hilang, seperti ibu hamil yang sedang ngidam, hanya saja sayangnya tak cuma minta nasi liwet Solo atau martabak kubang. Bersamaku tak hanya seperti mengasuh bayi, tapi lebih dari itu, mengasuh bayi alien, yang bahasanya sama sekali tidak bisa dimengerti, yang menyukai hal-hal yang kadang kamu benci, dan kadang tidak kamu mengerti. Terima kasih untuk tetap mau berbagi kehidupan di sepetak tanah ini. Meskipun mungkin ini satu-satunya tempat kamu eksis buat aku.

Tolong berhenti.

Di dalam otakku ada segerombolan teroris yang sampai hari ini masih eksis. Tidak tersentuh, tidak terlacak keberadaannya, dan bahkan aku, sang tokoh utama kehidupanku, yang seharusnya berkuasa atas setiap pergerakan molekul sekecil apa pun dalam diriku, tidak mampu menjerat mereka dengan undang-undang dan membunuhnya, atau memenjarakannya selamanya. Mereka datang sewaktu-waktu, kadang di saat aku paling tidak menginginkannya, dan seringnya di saat aku yakin mereka sudah pergi, angkat kaki untuk selamanya. Mereka bisa dalam waktu dua detik memporakporandakan puzzle kebahagiaan yang sudah kususun keping dari keping setiap hari sebelum akhirnya memperoleh bentuknya, dan ketika bentuk puzzleku mulai tampak, segerombolan teroris datang dan segala yang telah hampir sempurna pun musnah. Sering aku merasa diri menyedihkan setiap kali aku tersadar bahwa mereka tidak pernah pergi. Mereka ada di sana. Mereka benar-benar ada, namun aku selalu menghindar dan berpura-pura. Mereka nyata,