Skip to main content

Posts

Showing posts from 2017

Year In Review

Hari ini adalah hari kerja terakhir di tahun 2017, dan kantor sudah mulai sepi karena sebagian besar pegawai sudah mengambil cuti sejak akhir pekan sebelum natal. Anak-anak sudah libur sejak dua minggu yang lalu, jadi mereka setiap hari saya bawa ke kantor. Rusuh? Pastinya. Tetapi untungnya karena kantor sudah sepi (banget!) jadi relatif tidak ada yang terganggu. Apalagi di kantor juga sedang ada proyek renovasi, jadi berisiknya tak tek tok palu tukang bangunan mengalahkan teriakan si Racun Api, hahaha. Tahun ini saya menutup tahun dengan perasaan yang lebih ringan dibanding tahun lalu atau tahun sebelumnya. Sejak pindah ke pulau kecil ini, dengan kantor kecil dan jumlah pegawai yang lebih sedikit, saya memang menjadi sangat sibuk sehingga saya hampir selalu kelelahan di akhir tahun. Tahun ini, berbeda dengan yang lalu-lalu, saya memang mengurangi banyak kesibukan (termasuk menutup usaha) dan menghindari perjalanan dinas ke luar kota kecuali benar-benar urgen, dan hasilnya, saya

Ibu Bekerja

Walaupun saya sudah pernah memutuskan bahwa saya tidak akan mengejar karir (setidaknya tidak di kantor yang sekarang), namun tetap saja saya harus bekerja setiap hari karena kami belum punya cukup uang untuk membayar ikatan dinas, dan juga tentunya karena kami masih butuh penghasilan dari dua orang. Singkatnya, alasan utama saya bekerja adalah untuk penghasilan, bukan aktualisasi diri, apalagi passion. Tentu saja saya berharap suatu hari bisa bekerja sesuai passion, (atau berhenti kerja dan mengejar passion? Apa bedanya ya?) tetapi untuk saat ini pilihan saya hanyalah tetap kerja. Menyedihkan ya mungkin, hahaha, tapi saya lumayan menikmati pekerjaan yang sekarang karena beban kerjanya tidak terlalu besar (walaupun repot, tapi tanggung jawab saya tidak terlalu banyak) dan memberikan saya waktu yang lebih fleksibel untuk mengurus anak-anak. Jadi yah win-win lah. Kondisi yang (untuk sementara) ideal. Lalu kemudian saya tiba-tiba nggak punya baby sitter, disusul dengan hamil lag

November Rain

Sebulan ini hujan sedang rajin-rajinnya dan deras-derasnya turun, ditambah dengan petir dan angin yang lumayan mendebarkan khususnya karena keluarga kami tinggal di pulau kecil. Cuaca dingin membuat anak-anak jadi mudah kena pilek, apalagi Mbak Rocker baru saja sembuh dari sakit. Bulan ini juga Mr Defender masih bertugas di luar kota sehingga saya harus sendirian menerpa badai kehidupan, hahaha. Cukup banyak momen  meltdown yang saya alami bulan ini, khususnya karena saat ini saya sedang menjalani kehamilan ketiga yang beda dengan dua kehamilan sebelumnya, luar biasa menguras energi. Seakan-akan setiap jam empat sore baterai saya sudah habis ke titik nol sehingga saya tidak punya energi lagi untuk menemani anak-anak main, mengerjakan PR, apalagi membuatkan makanan dan mengurus rumah. Syukurnya anak-anak juga lumayan pengertian. Di sisi lain bulan ini juga menyenangkan karena cuaca jadi adem, saya tidak perlu kepanasan hamil-hamil begini. Karena saya mudah kelelahan jadi sepulan

lust in translation

Ini adalah buku pertama Pamela Druckerman, tapi saya baru mendengarnya setelah menyelesaikan Bringing Up Bebe. Isinya esai tentang penelitian yang dia lakukan mengenai adultery dan infidelity di berbagai penjuru dunia.   Menariknya? Menurut pengamatan Pamela satu-satunya negara yang penduduknya menganggap perselingkuhan itu hal serius dan memalukan cuma Amerika Serikat. Orang lain di negara lain jauh lebih santai menghadapi fenomena itu dan tidak banyak yang menganggap perselingkuhan adalah akhir sebuah hubungan. Mengejutkan dan menarik, kan? Saya juga suka banget gaya bertutur buku ini, sudut pandang penulisnya yang tidak hitam putih dan penemuan-penemuannya yang cukup menakjubkan dan membuka mata.

Rocker Berjadwal Padat

Akhirnya tiba juga saat yang sudah dua bulanan ini saya takutkan: Mbak Rocker jatuh sakit.  Mengapa saya sudah khawatir (dan menduga) dia akan sakit? Sebenarnya sebagian besarnya, ini salah saya sebagai ibunya. Sejak kira-kira tiga bulanan yang lalu, tiba-tiba Mbak Rocker tertarik untuk mengikuti banyak kegiatan setelah sekolah. Marching band dua kali seminggu, eskul agama di sekolah seminggu sekali, Pramuka, dan mengaji. Belum lagi dia juga minta ikutan latihan taekwondo di kantor kelurahan dekat rumah. Tetapi yang terakhir tidak saya kabulkan karena jadwalnya sudah terlalu padat. Awal bulan ini marching band-nya akan tampil dalam acara HUT TNI sehingga sejak sebulan sebelumnya dia latihan setiap sore sepulang sekolah selama tiga jam, selama hampir tiga minggu. Belum lagi kegiatan-kegiatannya yang lain, yang mana susah sekali melarang Mbak Rocker berangkat.  Walau dengan khawatir, saya melepaskan juga Mbak Rocker dengan segala kegiatannya karena dia tampak senang da

Greenwashing dan Kemasan

Pernah dengar nggak sih istilah greenwashing? Yaitu pengemasan atau pencitraan produk yang sebenarnya tidak 'hijau' tapi dicitrakan seakan-akan dia 'hijau' dan ramah lingkungan agar orang yang cinta lingkungan tapi malas riset atau mereka yang ingin dianggap cinta lingkungan terbujuk dan terjebak? Pastinya pernah ya. Kadangkala greenwashing sangat mudah dikenali ya, namun kita yang memilih buta. Seperti rumah makan yang katanya sih menyumbangkan setengah persen keuntungan untuk orang utan tetapi pakai minyak sawit, kemasan karton dan boros tisu, di mana logikanya coba? Katanya cinta orang utan tetapi menggunakan produk yang untuk membuatnya harus menebangi pohon tempat tinggal si orang utan. Kan jadinya cuma hijau di kemasan ya. Sama halnya dengan makanan yang katanya sehat karena rendah lemak, tapi sebenarnya cuma sosis padat lemak yang dikurangi sedikit lemaknya. Salad yang penuh mayones. Atau dalam bentuk lain, sinetron ramadan yang ceritanya sama plek dengan sinetro

The Fishermen

Sebenarnya buku ini saya salah beli, saya bermaksud membaca The Fishermen karya John Langan (iya saya memang sebodoh itu sampai salah nitip beli buku). Saya akhirnya berhasil menyelesaikan buku ini dengan memakan waktu hampir setengah tahun (membaca buku apalagi buku fisik itu memang susaaahhh sekali setelah menjadi ibu). Buku ini merupakan buku pertama dari Chigozie Obioma, seorang penulis dari Nigeria. Ceritanya mengambil tempat di Akure, kota kelahiran Obioma sendiri, dan bersetting tahun 90-an. Buku ini berkisah tentang empat bersaudara yang sering membolos sekolah dan memancing ketika ayah mereka dinas keluar kota. Sesungguhnya saya sering merasakan kengerian ketika membaca buku ini (mungkin karena itulah saya nggak bisa cepat tuntas membacanya) dan karena saya sudah merasa sadar salah membeli buku, saya jadi sering bertanya-tanya: buku ini genre-nya apa sih? Thriller? Horor? Hahaha. Secara keseluruhan ini buku yang bagus sih, tragis dan misterius lah. Kalau kamu suka

Bye, Cus

Sudah sebulan ini saya tidak lagi mempekerjakan Cus Demi Moore. Ada banyak alasannya, namun saya sedang tidak ingin membahasnya. Yang terutama ingin saya bagi adalah, alangkah leganya (!) perasaan kami serumah setelah tidak lagi ada cus. Benar, saya harus pontang-panting mengantar jemput anak sekolah dan kegiatan ini itu, mengecek tas dan bekalnya setiap pagi. Benar saya jadi harus membereskan mainan anak-anak, mengantar jemput mereka ke daycare dan segudang kerepotan lainnya, namun... Saya jadi merasakan nikmatnya banyak hal. Mungkin selama ini saya terlena dengan adanya bantuan cus dalam mengasuh anak-anak saya. Sekarang, alangkah ternyata nikmat menyuapi anak tiga kali sehari. Alangkah jadi semakin efektif saya bekerja di kantor karena saya tahu saya harus selalu pulang teng-go dan menjemput anak-anak yang sudah menanti saya di daycare. Saya tidak pernah lagi kerja lembur. Si Racun Api tidak pernah lagi makan nugget karena saya selalu mengawasi apa yang dia makan

Upin Ipin, Kapal Nabi Nuh, dan Kritis dalam Beragama

Suatu sore saya menonton serial Upin dan Ipin bersama kedua anak saya. Saya sendiri, juga Mr Defender, cukup menyukai serial satu ini. Selain terutama karena penggambaran karakternya yang sangat realistis (bandingkan dengan anak jagoan di serial Shiva atau Adit Sopo Jarwo, misalnya), juga karena jalan ceritanya yang (lagi-lagi) realistis dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Sore itu di Upin dan Ipin, anak-anak Kampung Durian Runtuh pergi mengaji. Digambarkan Ustadz yang mengajar ngaji orangnya menyenangkan dan senang menceritakan kisah nabi. Kali itu, dia bercerita tentang bahtera Nabi Nuh. Namun belum selesai dia bercerita, waktunya habis dan dia memutuskan ceritanya akan dilanjutkan esok hari. Karena terbawa cerita seru dan penasaran dengan kelanjutannya, Upin Ipin mengobrolkan kisah Nabi Nuh dalam perjalanan pulang mengaji dengan sahabat-sahabatnya: Ehsan, Fizi dan Mail. Rupanya Mail sudah pernah mendengar cerita Nabi Nuh, sehingga anak yang lain menanyakan kelanjutann

Merdeka!

Tujuhbelasan ini anak-anak saya yang sudah mengerti sedikit bahwa tiap tujuhbelasan ada berbagai perayaan, ikut meramaikan hari ulangtahun kemerdekaan dengan segenap keriaan. Mulai dari ikutan berbagai rangkaian acara di sekolah dampai berpartisipasi di acara tujuhbelasan di RT kami yang setiap tahunnya meriah. Kalau tahun-tahun sebelumnya anak-anak saya cuma bisa menonton, di tahun ini mereka sudah ikut berbagai macam lomba. Lomba lari kelereng, memasukkan jarum ke dalam botol, makan kerupuk, balap karung dan aneka lomba khas hari kemerdekaan lainnya, semuanya mereka ikuti. Nggak tanggung-tanggung, pulang dari gelanggang tujuhbelasan, anak-anak saya membawa hadiah banyak sekali. Sampai di rumah mereka masih dengan keringat berleleran seperti habis membajak sawah, bercerita dengan bangganya betapa mereka menang ini itu. Di sana juga mereka makan, karena memang disediakan makanan prasmanan seperti sedang hajatan, lengkap dengan aneka jajanan ringan dan minuman sirup aneka rasa. Mel

Kacang Polong dan Caca Boudin

Sebagai seseorang yang menjalani masa remaja dan dewasa muda bersama orang-orang 'jalanan', misuh atau mengucapkan makian menjadi hal yang biasa buat saya. Biasa bukan dalam artian saya biasa misuh-misuh setiap hari, tapi lebih ke saya paham bahwa kadang pisuhan atau kata umpatan itu tidak bermakna apa-apa. Tidak bermaksud buruk, kadang hanya sebagai ungkapan ekspresi (seperti jancok-nya Sujiwo Tedjo) dan bahkan kadang dalam konteks pujian (misalkan dalam "Jancok ayu tenan arek iku"). Intinya, saya sangat menolerir kata umpatan sepanjang bukan yang kasar dan merendahkan, misalkan anjing. Walaupun saya sangat menyukai anjing, tetapi saya mengerti bahwa bagi sebagian orang dikatai anjing terasa merendahkan. Kalau saya pribadi sih, lebih tersinggung kalau dipanggil maling, hehehe. Setelah saya menjadi orang tua, bisa dibilang saya tidak terlalu menyaring 'keanekaragaman bahasa' yang diperoleh anak-anak dari pergaulan dengan anak-anak tetangga maupun teman-tema

Everybody's Changing

Pernah nggak sih, ketemuan sama teman lama secara tak sengaja, lalu dapat komentar, "Kamu berubah, ya." Pernah? Saya sering. Terus, pernah nggak setelah diklaim berubah oleh si teman lama itu, hubungan kalian berubah renggang? Saya juga pernah. Apakah saya sebagai pihak yang diklaim berubah itu memang merasa berubah? Ya iyalah, bray, namanya juga hidup. Memangnya ada orang yang bertahun-tahun nggak berubah selain keluarga The Cullens dan Syahrul Gunawan? Sejujurnya, ada kali ya. Tapi kodrat manusia itu kan memang berubah ya, seiring perputaran bumi dan planet-planet. Ya nambah umur, nambah ijazah, nambah anak, rumah, mobil, pokoknya berubah lah. Buat sebagian orang termasuk saya, perubahan yang dialami bukan cuma perubahan superficial yang tampak di luar, tapi mungkin isi jeroan saya banyak berubah, termasuk cara pandang saya terhadap hidup, yang mungkin membuat perubahan saya langsung terasa sehingga langsung menuai klaim: KAMU BERUBAH! Tapi coba deh, ya, pi

Berserah

Satu hal yang saya pelajari seiring bertambahnya usia adalah ini: hasil tidak selalu relevan dengan usaha yang telah kita berikan. And it's ok. Seberapa sering kita telah berusaha mati-matian, mengerahkan segala daya upaya untuk meraih sesuatu (atau memenangkan hati seseorang) namun hasilnya jauh dari yang kita harapkan. Memang menyakitkan saat kita tersadar bahwa hidup tidak seindah kisah sinetron di mana hasil selalu berbanding lurus dengan usaha. Seperti kalimat premis silogisme matematika yang kita pelajari di SMA: jika ia rajin maka ia lulus. Sayangnya dalam kehidupan nyata ada banyak faktor yang mempengaruhi silogisme sederhana itu sehingga premis itu tidak selalu berjalan sebagaimana mestinya. Mungkin kemampuan dan upaya kita yang sudah maksimal itu memang masih kurang, ada orang lain yang lebih baik dari kita, ada faktor suka dan tidak suka dan ada juga keberuntungan. Apapun itu, kadang-kadang sesuatu atau seseorang memang tidak ditakdirkan untuk kita raih atau miliki.

Merantau

Sudah lebih dari sepuluh tahun saya hidup di rantau, dalam artian jauh dari orang tua dan keluarga. Selama sepuluh tahun itu saya berubah-ubah aktivitas dan pekerjaan: mahasiswa, karyawan, lalu mahasiswa lagi dan karyawan lagi. Selama itu juga status dan predikat saya berubah-ubah: dari single and available , in a relationship , single lagi, it's complicated (serasa status facebook ya, hahaha) sampai pada i n a relationship with 50% chance of marriage , kemudian engaged, married, married with a kid, married with two kids ...  Bahkan saya juga berpindah kota, negara, dan pulau selama sepuluh tahun ini. Semua perjalanan dan tahapan kehidupan itu saya lalui dalam keadaan jauh dari keluarga inti. Bahkan saya melahirkan kedua anak saya tanpa didampingi ibu saya, yang dulu saya kira pasti akan ada menemani di sisi ranjang di ruang bersalin, sebab siapa lagi yang akan menenangkan saya? Tidak pernah terpikirkan oleh saya sebelum merantau, saya akan menjadi sangat detached dari kel

Mudik

Mudik rasanya lekat sekali dengan kebiasaan (atau bahkan kebudayaan) bangsa kita di saat hari raya Idul Fitri. Wajar sih, karena sebagian besar warga Indonesiia beragama Islam dan merayakan Idul Fitri. Idul Fitri atau lebaran menjadi momen untuk berkumpul bersama keluarga dan bermaaf-maafan. Idul Fitri juga disertai dengan momen sungkem dan halal bi halal keluarga besar yang sudah setahun tidak bertemu entah karena kesibukan atau karena memang tinggal berjauhan. Bahkan acara reuni sekolah atau teman kuliah pun seringkali dilakukan pada momen puasa dan lebaran. Nah di momen mudik ini semua yang bekerja di luar kota rasanya wajib banget untuk pulang kampung. Biarpun tiket susah atau macet di jalan, mudik tetap jalan terus. Sampai-sampai meliput arus mudik menjadi agenda tahunan setiap stasiun televisi. Rasanya kayak nggak afdol kali ya lebaran nggak di kampung halaman. Bahkan berbagai kecelakaan bis, kereta, sampai tragedi tol Brebes pun tidak menggentarkan semangat para pemudik unt

Mata yang Enak Dipandang

Saya punya beberapa teman perempuan yang mempunyai kualitas yang menurut saya langka: mata yang enak dipandang. Bukan mata yang indah secara fisik, atau mata yang dibalut make up mata yang sempurna dan alis yang paripurna, tetapi yang punya kemampuan ajaib meneduhkan hati mereka yang menatapnya. Bukan hipnotis lho ya, cuma menyejukkan, begitu. Saya paling sering mendatangi teman-teman dengan mata yang enak dipandang ini setiap saya sedang  ada masalah, rindu rumah, penat, atau cuma resah yang nggak jelas juga sebabnya apa. Pokoknya sewaktu perasaan saya nggak enak. Biasanya secara otomatis saya terpikirkan si teman ini, lalu saya mendatangi mereka, dan mereka hampir selalu available serta menerima saya dengan tangan terbuka. Kadang saya menceritakan masalah saya pada mereka, dan mereka mendengarkan dengan penuh perhatian, menggenggam tangan saya, menemani saya ngobrol dengan secangkir teh hangat dan cemilan. Kadang mereka memberikan nasihat, kadang juga tidak, namun mereka mendeng

The Japanese Lover

Saya selalu suka buku-buku karya Isabel Allende, karena karakter-karakternya selalu 'kaya' dan penuh warna (tidak seperti tokoh-tokoh dalam buku Ika Natasha, misalnya, yang seragam semua). Misalnya Eva Luna, Ripper, Maya's Notebook, semuanya saya suka karena keberanekaragaman 'casts' dalam novel-novelnya. Tapi untuk novel yang satu ini, di mana Isabel mengambil latar Polandia tahun 1939, rasanya kurang greget gimana gitu (maaf ya ini bukan resensi buku yang berkualitas memang, hahaha). Saya merasa buku ini beda dengan gaya penulisan Isabel biasanya. Tetap bagus sih, tapi tidak meninggalkan kesan yang dalam seperti buku-buku Isabel yang sebelumnya.

Jajan

Cus Demimoore (yang saya sebut demikian karena model rambutnya yang ala Demi di film Ghost), sering mengkritik saya tentang kebiasaan jajan Mbak Rocker dan si Racun Api. Banyak dan ada-ada saja lah protes Cus Demimoore ini soal jajannya anak-anak: yang kebanyakan lah, yang nggak sehat lah, yang nggak dimakan lah... Eman Bu, eman... kata Cus selalu yang cuma saya balas dengan tertawa. Sebenarnya, bukan cuma Cus Demimoore yang hobi berkomentar tentang jajan ini. Kayaknya, banyak deh teman yang sering syok melihat si Racun Api makan oreo sambil minum es puter (terutama yang anaknya hanya ngemil granola bar dan salad zukini). Ada juga yang syok melihat Mbak Rocker sudah pintar memanggil tukang cilok, tukang bakso, tukang es, sementara dia baru berniat mengenalkan wacana jajan pada anaknya di usia SD. Belum lagi kebiasaan saya memberikan uang jajan kepada anak-anak sepulang sekolah setelah saya mengantar mereka pulang dan berpamitan kepada mereka untuk kembali ke kantor. "Ana

She's Come Undone

Saya baru tahu buku ini karena Oprah, tapi buku ini bagus dan membuat saya berpikir tentang diri saya sendiri, waktu-waktu di mana saya menghabiskan waktu di depan TV makan keripik kentang dan minum pepsi persis seperti Dolores. Buku ini membuat saya patah hati tapi juga menyelipkan harapan, membuat perasaan saya teraduk-aduk mengingat saat-saat paling down dalam hidup saya. Dan buku ini juga mengajarkan bahwa kita harus bangkit, sendiri, karena begitulah hidup ini.

raising snowflakes

Konon katanya, orang tua zaman sekarang jauh lebih berpikiran terbuka dibandingkan para orang tua di zaman kita kecil dulu. Orang tua zaman sekarang juga lebih demokratis dalam mendidik anak, mau mendengarkan pendapat anaknya, lebih tidak pelit memuji, dan tidak menghukum anak sebagai metode pendidikan seperti yang sering dilakukan orang tua kita dulu. Nampaknya ideal sekali, ya? Lalu apakah hasil didikan orang tua yang berpikiran lebih terbuka ini lebih baik? Mungkin. Tapi sekarang, kadangkala, saya menemukan diri sendiri kuatir dengan cara saya mendidik anak-anak (yang kurang lebih sama ajalah dengan cara orang tua jaman sekarang: sedikit memarahi, berusaha banyak memuji dan mengerti). Seringkali saya bertanya, apakah saya tidak terlalu memanjakan anak-anak? Apakah saya tidak kurang tegas? Apakah saya terlalu banyak memuji dan seharusnya lebih mengkritik? Saya sering mendapati diri saya tidak setuju dengan memuji anak apa pun hasilnya. Sebab, jika hasil jelek pun dipuji, bag

Nyes di Hati

Bulan lalu, saya bersama beberapa teman dari Komunitas Jendela Nusantara melakukan perjalanan ke salah satu pulau terluar di utara Indonesia. Perjalanan ini merupakan kelanjutan dari program mengajar mereka di daerah tertinggal. Saya membawa kedua krucil saya, Mbak Rocker dan si Racun Api, dengan kapal sungai, dilanjut perjalanan darat dan kapal kecil. Perjalanan kali ini sangat berkesan bagi saya terutama karena saya membawa dua buah hati saya. Walaupun saya sering mengikuti acara semacam ini sejak kuliah, namun pergi bersama dua anak kali ini sangat berbeda. Bukan terutama karena kerepotan di perjalanan, namun perjalanan ini banyak menyisakan nyes di hati. Nyes melihat kondisi pendidikan di perbatasan baik dari segi sarana prasarana, ketiadaan guru-guru, maupun kurikulum pendidikan yang belum jelas karena pengajar saja nggak ada. Nyes melihat betapa timpangnya pembangunan di daerah perbatasan dibandingkan dengan Pulau Jawa. Nyes melihat masih banyaknya penduduk Indonesia yang ta

Ode to My Civic

Halo, semua! Dua minggu ini adalah minggu yang lumayan seru buat keluarga kami, dimulai dari ulang tahun saya yang ketiga puluh, kepulangan Mr Defender dari perjalanan dinas panjangnya, disusul dengan si Racun Api yang ndilalah ujug-ujug kena cobaan hidup, kecelakaan dalam salah satu atraksi akrobatnya di playground dan berakhir dengan jahitan telinga serta operasi tulang rawan yang membuat kami menginap tiga hari di rumah sakit. Syukurnya semua cepat berlalu dan si Racun Api saat ini sudah kembali berlaga akrobatik. Kemudian rumah kami kedatangan tamu agung, ibu saya dari Jogja yang khawatir dengan kondisi si Racun Api. Padahal bocahnya riang-riang saja, hehehe.  Di antara semua keseruan di rumah kami, ada satu agenda yang menjadi terlupakan, yaitu mobil sedan tua saya. Sejak menikah sampai hari ini, kami menggunakan sebuah Grandcivic tahun 1990 sebagai alat transportasi. Mobil ini merupakan mobil bersejarah bagi kami. Kami membelinya dari bapak saya beberapa minggu sebelum menik

Catatan Ulang Tahun

Hey orang tua, jangan umbar kata. Ingatlah bahwa kau juga penuh muda, pernah lucu pernah lugu dan tak bijaksana. Sebentar lagi, saya akan memasuki usia kepala tiga. Pergantian usia yang menjadi momen besar bagi sebagian orang, dan menjadi penanda bagi sebagian besar wanita untuk mulai membeli produk perawatan kulit dengan embel-embel 'anti-aging'. Di sisi lain, jelang usia tiga puluh bagi banyak orang diidentikkan dengan peralihan fase dari muda menjadi dewasa. Dewasa dalam hal bersikap, berperilaku, termasuk mungkin dewasa dalam penampilan dan dewasa dalam hal sudah mapan, entah dalam wujud pekerjaan, penghasilan, atau berkeluarga. Mungkin sebagian orang memasang target menikah di usia ini, atau membeli rumah, memiliki anak atau hal-hal besar lainnya. Hey kau yang muda, jadilah berguna bagi dirimu dan sanak saudara. Sudahi saja pestamu dan luangkan waktu, melakukan sesuatu untuk masa depanmu. Sepenggal lirik lagu dari salah satu band favorit saya, Silampukau, meng

Tentang Buku Elektronik

Sejak kecil, saya suka membaca dan punya koleksi buku bacaan yang lumayan. Sewaktu saya masih di bangku SD, setiap ada uang lebih, ayah saya mengajak saya ke Shoping (sekarang menjadi Taman Pintar) untuk berburu buku bacaan bekas dan kami akan pulang dengan satu tas penuh buku bacaan (bekas) baru. Setiap ada mobil perpustakaan keliling datang saya akan semangat sekali meminjam dua tiga buku. Begitu pun di sekolah, saya senang sekali membaca dan meminjam buku di perpustakaan. Hal ini berlanjut sampai saya dewasa. Perpustakaan dan toko buku, they are my happy places.  Sewaktu saya akan berangkat ke Samarinda pertama kali untuk bekerja, saya meninggalkan sebagian besar koleksi bacaan saya di rumah salah seorang sahabat yang akhirnya rusak karena kebanjiran (duh!). Saya memulai lagi mengoleksi buku-buku dari nol ketika mulai bekerja. Jumlah koleksi buku saya juga bertambah dengan pesat karena saya sudah punya uang hasil jerih payah sendiri untuk membeli buku. Rak buku saya bertambah

Kita Semua Manusia

Idealnya, semua manusia itu punya derajat yang sama. Baik di depan Tuhan, negara, hukum, dan juga di hadapan manusia lainnya. Nilai manusia seharusnya tidak ditentukan oleh agama, kekayaan, ras, kebangsaan dan status ssialnya. Harusnya, ya. Kenyataannya, tentu sudah terlalu banyak conth pembedaan manusia berdasarkan segala perbedaan yang ada itu tadi. Bahwa ada kenyataan pahit kalau sekumpulan manusia diperlakukan lebih buruk dari yang lain, itu fakta yang tak bisa dibantah. Negara, hukum, dan bahkan sesama manusia seringkali berlaku lebih berpihak kepada mereka yang mayoritas, yang kaya, atau yang berkuasa. Yang lain seringkali jadi warga kelas dua. Tapi mengapa semua perbedaan itu ada? Mengapa, sedangkan kita semua manusia?

Sumarah

Tahun ini berawal dengan cukup berat bagi orang-orang di sekeliling saya: seorang anggota keluarga inti sakit, seorang kolega yang cukup dekat dengan kami kehilangan posisi penting di tempat kerjanya, dan beberapa kawan lama mengalami masa-masa yang sulit. Bukan cara paling menyenangkan untuk mengawali tahun baru, tentunya. Belum lagi cuaca yang tidak menentu, pemadaman listrik yang rasanya kok makin sering saja di pulau kecil kami, dan kenyataan bahwa hujan tidak turun di salah satu hari favorit saya dalam setahun: tahun baru imlek.  Sangat mudah untuk pupus harapan bahkan sebelum bulan Februari dimulai. Namun, minggu lalu kami mengalami satu kejadian yang lucu-lucu menyebalkan. Sepatu anak laki-laki saya, si Racun Api, tertukar di sekolah. Sepatu ini sepatu biasa sebenarnya, namun sedang hits di kalangan anak seumurannya. Sekolah anak-anak saya, Mbak Rocker dan si Racun Api, memang mewajibkan anak-anak melepas alas kaki sebelum memasuki sekolah. Ini bukan pertama kalinya si Racu

girl crush: Joy Cho

Beberapa bulan ke belakang saya suka baca blog Oh Joy karya Joy Cho, seorang desainer produk dan grafis yang lekat dengan karya-karya penuh warna. Blognya penuh dengan ide home decor, DIY-DIY yang seru dan gampang, ide hadiah dan dekorasi pesta. Produk-produk yang dihasilkan Joy juga ceria banget dan bikin happy yang melihatnya. Selain dekor dan produk, sesi fashion di blognya juga unik, nggak biasa, dan mengakomodir semua etnis maupun bentuk tubuh. Dan tentunya saya suka melihat keluarga kecilnya.

Cerita Odong Odong

Kemarin, anak-anak sedang luar biasa aktif dan rewelnya. Setelah seharian nggak tidur siang menurut laporan pengasuhnya, sore-sore ketika saya pulang kantor mereka minta diajak makan "epsi", istilah Mbak Rocker untuk KFC. Sebagai ibu bekerja yang sadar diri kurang banyak meluangkan waktu dengan anaknya, maka saya pun seperti biasa menebus rasa bersalah itu dengan memanjakan mereka dalam hal jajanan, hahaha... Pergilah kami berempat ke KFC, di mana mereka seperti biasa nggak hanya makan, tetapi main perosotan. Kebetulan juga lantai kedua gedung KFC itu memiliki tempat bermain ala-ala Timezone, dan anak-anak, seperti yang sudah diduga, minta lanjut ke lantai dua. Magrib sudah menjelang, anak-anak belum juga puas bermain. Padahal saya, duh,  boyok  sudah mau copot rasanya setelah seharian tadi bekerja di kantor, bolak-balik kantor-rumah-sekolah-pasar-kantor lagi, belum lagi menangkapi si Racun Api yang maunya loncat saja dari ujung perosotan. Belum lagi badan saya rasanya l