Selalu ada secuil Gie setiap aku menapakmu, selalu aku ingin berpuisi: hari pun menjadi malam dan sesuatu tentang Jakarta yang tua dan terlena dalam mimpinya. Lebih dari itu, selalu ada pahit manis yang bersamaan mendekapku, berebut ruang dalam memoriku. Dia. Dia. Dan dia. Dia yang tatapannya menguatkan. Dia yang senyumnya menenangkan. Dia yang menghanguskan semua bara. Lalu aku akan kembali mengenang Gie, dan anjing-anjingnya yang nakal dan lucu. Sama sepertinya aku pun ingin menjadi tua bersama seseorang, berbicara tentang Tuhan dan kehidupan, tak satu setan pun tahu, katanya. Aku tak tahu siapa yang harus kukenang saat meneguk susu coklat dan kerah kemeja siapakah itu, namun kau selalu ada, Pangrango. Bersama hamparan edelweis, di alun alun Suryakencana, ataukah Mandalawangi? Aku tak bisa lagi mengandalkan memoriku, namun perasaan ini terlalu nyata untuk hanya jadi mimpi.