Skip to main content

Tentang Halaman Itu



Aku bisa membayangkan, kamu yang tujuh tahun berlarian di halaman itu, memunguti mangga muda yang jatuh oleh air hujan sebelum sempat meranum. Atau kamu, memanjati satu-satu pokok mangga, sawo, belimbing, dan jambu air, memakan buahnya di atas pohon hingga kekenyangan dan melempar sisanya ke bawah, sembarangan.
Aku mengerti perasaan itu, perasaan ketika kamu menyusuri lorong ingatan, membuka kembali album yang berdebu dari tahun-tahun sebelum remaja. Masa yang bagi semua orang indah, bahkan atau justru apalagi bagiku, namun untukmu aku tahu, rasa itu mungkin tak sempat kaukenali. Aku tak bisa membayangkan, sungguh tak bisa kubayangkan sosok tangguh di dalam kamu yang tujuh tahun, di masa itu, dalam episode itu, dalam potongan gambar itu.
Ingin rasanya aku memelukmu, biar aku pun merasakan perih itu, ataukah justru kamu tak merasakan apa pun? Karena kamu menceritakan segalanya seakan tak ada drama dalam potongan masa lalumu, sedangkan aku mendengar dengan hati setengah hancur. Tidak, tak satu persen pun aku mampu apabila aku yang menjadi kamu. Kamu memikul segalanya, tanpa keluh, tanpa protes, tanpa melihat dirimu sebagai tokoh utama sinema televisi mendayu-dayu, tanpa keinginan menyanyikan lagu cinta bernada minor. Kamu, seperti yang selalu kamu katakan, menerima segalanya karena dunia tak punya fasilitas banding dan kasasi. Segala yang digariskanNya adalah ketukan palu terakhir. Kadang kita tertawa bahagia, kadang getir, namun pada akhirnya kita menerima segala vonis kita.
Sungguh, aku ingin memberimu satu saja dari sejuta milyar lollipop dan gulali dan gula-gula masa kecilku untuk kamu. Seandainya saja aku bisa. Ingin aku membagi semenit saja gelak tawa kenakalanku dengan kamu. Aku mau. Aku rela menukar beberapa tahun kebahagiaan masa itu, agar setidaknya kamu punya sesuatu, kepingan indah yang bisa kauceritakan padaku sebagai nostalgia usia tujuh tahunmu.
Dan kini, memandangi pokok-pokok yang tak subur lagi, halaman yang meranggas ini, alangkah tak adilnya dunia, mengapa melepaskan kenangan pahit pun harus berat rasanya. Ingin aku menggenggam tanganmu, membisikkan penghiburan entah apa, mengajakmu berlalu menuju halaman kita yang baru. Mungkin penuh ilalang, mungkin pun kupu-kupu, tapi kupastikan seluruh benih di sana dipupuki cinta. Dan akan kubuatkan untukmu setiap hari kenangan baru, hingga ruang memorimu tak mampu lagi menyerapnya, hingga hapuslah semua yang tak ingin kaukenang dari masa lalu.
Akan kubuatkan untukmu taman seindah surga, walau tanpa sungai susu.

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku