Skip to main content

Waktu

Kesempatan itu mahal. Betul sekali. Sehat itu terasa mahal saat kita terkapar sakit. Waktu luang itu baru terasa berharga setelah kita sibuk bermain sirkus dengan waktu. Keluarga itu terasa sangat berarti ketika kita berada jauh dari mereka. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Setelah jatuh sakit dan harus bedrest selama dua minggu, barulah saya sadar dan menyesali banyak hal yang seharusnya bisa saya lakukan di waktu masih sehat, tetapi tidak saya lakukan, dan nanti, entah apakah masih bisa saya lakukan atau tidak karena sakit ini. Banyaaaaak sekali hal-hal yang sering saya tunda, banyak hal yang saya mulai tetapi saya tinggalkan sebelum benar-benar selesai, banyak rencana yang saya buat tapi tak pernah saya realisasikan. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Kemudian, karena pada dasarnya saya adalah manusia paling optimis, saya menutup semua penyesalan-penyesalan kecil itu dan memutuskan untuk mengambil sebanyak-banyaknya kesempatan yang lewat di depan saya, sebelum benar-benar berlalu dan mungkin akan saya sesali nanti. Yah, semacam menjadi Yes-Man. Saya akan mengiyakan ajakan semua orang di sekitar saya (orang-orang yang saya sayangi, yang misalnya, mengajak saya jalan-jalan di saat saya sebenarnya bisa tapi malas). Yah, semacam itulah. Sebab, siapa tahu esok hari saya tak punya kesempatan lagi memenuhi ajakannya? Bukankah selalu menyenangkan membuat penghujung yang indah, seandainya hari ini hari terakhir saya bertemu dia?

Sekarang, rasanya baru mengerti kenapa orang bilang hiduplah seperti hari ini hari terakhirmu. Jangan menunda apa yang seharusnya bisa disegerakan. Dan itu berlaku untuk semua hal. Tugas kuliah, beres-beres kamar, mengqadha puasa ramadhan, memberi hadiah kejutan pada orang tua, merajut sweater untuk pacar, memberitahu sahabat kita betapa kita menyayanginya. Dan seterusnya.
Sebab, siapa yang tahu apakah esok hari kita masih diberi nafas oleh-Nya?

Dan sungguh demi masa, kita benar-benar berada dalam kerugian.

Comments

Popular posts from this blog

Lekas Sembuh, Bumiku

Ada banyak hal yang memenuhi pikiran setiap orang saat ini, yang sebagian besarnya mungkin ketakutan. Akan virus, akan perekonomian yang terjun bebas, akan harga saham, akan  ketidakpastian akankah besok masih punya pekerjaan. Ada banyak kekuatiran, juga harapan. Ada jutaan perasaan yang sebagian besarnya tak bisa diungkapkan. Tanpa melupakan bahwa kita tak hanya cukup merasa prihatin namun harus mengulurkan tangan kepada mereka yang membutuhkan, marilah kita mensyukuri apa yang masih kita miliki. Setiap detik kehidupan yang masih diberikan kepada kita, atap untuk berteduh, rumah tempat kita bernaung, makanan, udara yang segar, dan keluarga tercinta yang sehat.

Tahun untuk Berjuang

Saya tidak bermaksud membuat blog ini menjadi kumpulan essay galau, apalagi di awal tahun dan awal dekade yang semestinya disambut dengan penuh semangat. Tapi mungkin tahun ini memang saya mengalami krisis usia 30-an. Mungkin juga usia 30 adalah usia mendewasa yang sebenarnya sehingga banyak hal yang mendadak tersangkut di pikiran. Dan mungkin juga tahun ini memang dibuka dengan berbagai duka yang belum selesai dari tahun lalu. Seorang kerabat dekat yang sangat saya sayangi divonis dengan penyakit yang cukup serius tahun lalu, dan tahun ini kami semua berjuang untuk kesembuhannya. Sangat sulit untuk tetap berpikiran positif di saat ketidakpastian yang mencekam ada di depan mata. Selain satu hal ini, ada beberapa hal lain dalam hidup kami yang sedang tidak beres, seakan semesta kami mulai runtuh sedikit-sedikit, dan jiwa saya lumat perlahan-lahan di dalam pusaran masalah yang tak henti. Saya berkali-kali mencoba mengingatkan diri bahwa saya harus tetap berusaha untuk tid...

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita...