Skip to main content

I should have bought ya flowers, he said.

Beberapa hari (atau pekan) yang lalu saya mengobrol lama dengan Mr Summer tentang banyak hal, sampai kemudian tibalah kami pada satu topik yang tidak pernah kami bicarakan: kegagalan hubungan kami di masa lalu.

Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, perpisahan dengan Mr Summer merupakan salah satu titik yang rasanya sukar diabaikan dari hidup saya, saking hancur leburnya perasaan saya waktu itu. Sekarang sih tentu saja perasaan sakit dan terluka itu sudah sembuh, buktinya kami sudah berteman baik lagi.

Kemudian kami membicarakan perempuan itu. Lucunya, saya bisa tersenyum mengingatnya. Lalu Mr Summer berkata, hey, aku minta maaf.

Kenapa? Karena memilih dia dibandingkan aku? It's ok, you can't force love.




No I didn't sorry for the things I've done. I'm sorry for those things I didn't do.

Alis saya terangkat. Hal-hal seperti apa?

I loved you, you know that. Before her, I loved you first. Entah apakah kamu sadar, but I did love you. Kamu tahu fase di mana kamu sudah bersama dengan si A (he mentioned Mr Skater, the one I never mentioned here or anywhere)  lalu tiba-tiba kita bertemu di X dan semuanya jadi awkward?

Saya bertanya kenapa.

I was about asking you to leave him and be with me.

Really? But why? And btw, you were with your  dream girl at that moment. And btw again, Mr Skater and I were just friends. With benefits, maybe. hahaha.

I was jealous. Cemburu yang nggak jelas, walaupun saat itu aku sedang bersama cewek yang aku cintai. Dulu aku nggak tahu kenapa, tapi kemudian aku tahu. Dan setelah aku tahu kenapa, aku sadar sebenarnya aku bukan cemburu karena kamu sedang bersama Mr Skater. Aku cemburu karena melihat bagaimana dia memperlakukanmu. Kamu tahu, hal-hal seperti bunga mawar di hari Valentine, menggandeng tanganmu saat kalian sedang di jalanan, dan bahkan dia tidak melepaskan tanganmu saat kalian di depan umum. I was not really jealous. I was sorry for I didn't do the same thing when we were together. And then I realized, it wasn't us, it weren't you, it was me. It was me that messed us. I was the one that ruined us, that made things between us didn't work. And when I saw you, with another man who treated you so well, I just wanted one more shot.

Oh, wow, I didn't notice. Tapi terima kasih kamu sudah berniat begitu. Aku tersanjung, kata saya. Kamu habis dengerin lagu Bruno Mars atau gimana?

Dia tertawa. Yah, begitulah perasaanku dulu. Aku belajar sangat banyak dari perpisahan kita. Aku memperlakukan pacar-pacarku dengan sangat baik setelah itu. Jadi sebenarnya semua mantan pacarku berhutang padamu, bisa dibilang begitu.

Saya tertawa. So I made you a gentleman?

A better man. Dan terima kasih untuk itu.

Kami sama-sama tertawa. Lalu percakapan itu berakhir karena jam sudah menunjukkan pukul dua siang, saya harus kembali ke kantor dan dia harus istirahat makan siang.

And life goes on as it should.




Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku