Skip to main content

j.u.b.i.n.g

Akhir pekan yang lalu, Mr Defender mengajak saya menghadiri sebuah acara coaching clinic gitar berundangan terbatas yang menghadirkan beberapa gitaris ternama tanah air. Salah satunya adalah solo gitaris yang semua albumnya saya beli: Jubing Kristianto.

Saya sangat bersyukur bisa menghadiri acara ini karena demi langit dan bumi, Jubing ini jaraaaang banget tampil di acara konser, roadshow dan sebagainya. Bahkan sewaktu masih tinggal di pulau Jawa saja saya belum berkesempatan nonton Jubing main gitar live. Tapi di sini, di kota kecil ini, saya akan menyaksikannya pertama kali, dengan jarak sangat dekat dan audience yang terbatas pula. Terima kasih suamiku, aku terharu. Hahaha.

Acaranya seru banget lah ya, banyak solo gitaris keren dari Samarinda, ada Andry Muhamad yang luar biasa ramah pada fansnya, Gugun yang ternyata tidak terlalu menyenangkan sebagai pribadi, ada yang lain-lain tapi yang paling mengesankan bagi saya adalah pertemuan dengan Jubing. 

Jubing, di luar prestasinya yang luar biasa dan skill gitarnya yang dewa, adalah pribadi yang sangat-sangat humble. Saya berkesempatan untuk bertanya macam-macam dan Om Jubing menanggapi semuanya dengan sama bersemangatnya seperti saya. Saya menunjukkan kepadanya CD-CDnya untuk ditandatangani dan ekspresinya adalah... "Wow... Ini semuanya punya kamu? Kamu beli semua CD saya?" Saya mengangguk. "How come? Di kota ini bahkan tidak dijual." Dan saya bercerita bahwa saya sengaja membelinya di Jakarta, di Balikpapan, dan di dalam penjualan in flight saat saya bepergian naik pesawat. Saya sengaja naik Garuda karena saya tahu ada CD Jubing dijual di sana. And I don't even play guitar, Om.

"Terima kasih ya." Itu kalimat yang sangat berarti untuk saya, yang sejak seminggu yang lalu menebak-nebak Jubing ini orang yang seperti apa.

Lalu Om Jubing menceritakan kepada saya sebuah kisah yang sudah saya ketahui dari albumnya. Dia meninggalkan karir jurnalistik saat sudah memiliki jabatan, di umur 40 tahun pula, untuk menjadi musisi. Karena musik adalah panggilan jiwanya. Dan dia yakin bisa hidup dengan gitarnya, gitarnya bisa menghidupinya.

Kisah yang sudah saya baca berulang-ulang, namun tetap menginspirasi, terlebih ketika diceritakan langsung olehnya. "Jangan pernah takut menjalani panggilan hidupmu, berapapun usiamu saat mulai. Tapi, harus berhitung juga, jangan nekat."

Bagi saya, sore itu sempurna dan sangat memperkaya jiwa.

Terima kasih Om Jubing, terima kasih Mr Defender, terima kasih Mbak Intan, Andy Owen, dan Samarinda Gitar Aliansi yang menjadikan segalanya menjadi mungkin sore itu. I love you to pieces.


Comments

  1. Halo...salam kenal, saya Adi Nugroho, saya mengenal mas Jubing kira2 2000an kali, agak lupa, saat itu yang saya tahu justru ia salah satu member milis, seorang jurnalis senior tabloid Nova, dan setelah 2010 ternyata beliau teman dari salah satu sahabat saya di kantor.

    Saya tambah mengenal pribadinya karena melalui sahabat saya yang teman smp-nya itu. Mas Jubing salah satu figur unik dan sederhana dari dulu. Ketika kami ngumpul bareng sama mas Gugun juga saat itu, Endang (siapa lupa namanya, sekarang udah tenar juga tuh), dan kang Irwan di daerah otista, salah satu kolektor gitar, saya terheran-heran melihat beliau yang datang naik angkot, pakai tas coklat yang saya tahu persis itu tas ada pada zaman saya masih SD, bahkan lebih tua dari itu, tas sekolah periode 70an, dan ia masih pakai. Saya yakin sekali beliau masih menyimpannya. Lalu, ketika ia mau ngopi, beliau mengeluarkan kopi sachetan dan minta air panas ke kang Irwan.

    Dulu saya pernah komen ke beliau, semoga tetap menjadi mas Jubing yang saya kenal. Saya terharu membaca tulisan anda, semakin membuat saya bangga, meski saya tidak berharap beliau masih ingat saya dengan kesibukannya. Masih ingat saya dengan penasarannya bilang, mas, sorry ya, pinjem jarinya, lalu saya pegang2 jari kirinya dan mencet2 ujungnya, lalu saya bilang, mas, jari sampeyan memang lain, kelenturannya berbeda, dan cara mainnya berbeda. Ya, beliau memang beda, itu saya tahu dari dulu, itulah yang menyebabkan saya pengen sekali dengan mas Ditto waktu itu, menawarkan rekaman di studionya, namun sayang, ia sulit menemukan waktu yang pas buat kita. Jika sempat waktu itu, saya akan menjadi salah satu orang yang paling berbahagia punya rekaman versi bootleg sebelum beliau tenar :D.

    Salam
    Adi Nugroho
    nugadi@caplek.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. :)

      u're so so lucky ya bisa mengenalnya sedekat itu

      Delete
  2. Halo...salam kenal, saya Adi Nugroho, saya mengenal mas Jubing kira2 2000an kali, agak lupa, saat itu yang saya tahu justru ia salah satu member milis, seorang jurnalis senior tabloid Nova, dan setelah 2010 ternyata beliau teman dari salah satu sahabat saya di kantor.

    Saya tambah mengenal pribadinya karena melalui sahabat saya yang teman smp-nya itu. Mas Jubing salah satu figur unik dan sederhana dari dulu. Ketika kami ngumpul bareng sama mas Gugun juga saat itu, Endang (siapa lupa namanya, sekarang udah tenar juga tuh), dan kang Irwan di daerah otista, salah satu kolektor gitar, saya terheran-heran melihat beliau yang datang naik angkot, pakai tas coklat yang saya tahu persis itu tas ada pada zaman saya masih SD, bahkan lebih tua dari itu, tas sekolah periode 70an, dan ia masih pakai. Saya yakin sekali beliau masih menyimpannya. Lalu, ketika ia mau ngopi, beliau mengeluarkan kopi sachetan dan minta air panas ke kang Irwan.

    Dulu saya pernah komen ke beliau, semoga tetap menjadi mas Jubing yang saya kenal. Saya terharu membaca tulisan anda, semakin membuat saya bangga, meski saya tidak berharap beliau masih ingat saya dengan kesibukannya. Masih ingat saya dengan penasarannya bilang, mas, sorry ya, pinjem jarinya, lalu saya pegang2 jari kirinya dan mencet2 ujungnya, lalu saya bilang, mas, jari sampeyan memang lain, kelenturannya berbeda, dan cara mainnya berbeda. Ya, beliau memang beda, itu saya tahu dari dulu, itulah yang menyebabkan saya pengen sekali dengan mas Ditto waktu itu, menawarkan rekaman di studionya, namun sayang, ia sulit menemukan waktu yang pas buat kita. Jika sempat waktu itu, saya akan menjadi salah satu orang yang paling berbahagia punya rekaman versi bootleg sebelum beliau tenar :D.

    Salam
    Adi Nugroho
    nugadi@caplek.com

    ReplyDelete
  3. Salam kenal... terima kasih ya atas kunjungan dan komennya. Wah iya sayang sekali ga sempat punya rekaman itu, andaikan ada saya mau juga mengkopinya :)

    Om Jubing memang luarbiasa ya...

    ReplyDelete
  4. salam kenal sebelumnya...

    Om Jubing Ruar Biasaaaaa...!!!

    Baru nemu om Jubing di Lektube, baru tau ada gitaris fingerstyle Indonesia yg sedahsyat om Jubing,,, ( kemana aja ane selama ini ya...??? :P )

    asli wong semarang sisan,,, wkwkwkwk podo jowone,,, wis ancen kondang om Jubing,,,

    pgn bgt mendalami main gitar klasik kayak om Jubing,,, sayang di daerah ane g ada tmpat kursus nya,,, ;(

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku