Skip to main content

Menjadi Ibu


Akhir Juni lalu, setelah menunggu sepuluh bulan lamanya, si anak bayi yang betah lama-lama di rahim saya akhirnya mau menjumpai kami. Walaupun dengan proses persalinan yang panjang dan mendebarkan, bisa melihat dan mendekap bayi mungil kami sungguh tak ternilai harganya. Saya bersyukur atas segala yang saya dan Mr Defender lalui selama proses kelahiran putri pertama kami, Mbak Rocker.

Mbak Rocker adalah bayi tercantik yang pernah saya jumpai, tentu saja. Karena proses kelahiran yang kompleks dan kondisi fisik saya yang belum memungkinkan, saya baru bertemu dengannya dua hari setelah persalinan. Ia sangat mungil, wajahnya lembut, bercahaya, dan anggun. Aneh memang menyebutkan seorang bayi memiliki wajah yang anggun, namun begitulah ia, tenang dan anggun seperti Dewi Kwan Im yang welas asih.

Sejak kelahirannya, hari-hari saya diisi dengan menyusui, mengajaknya berjalan-jalan, memandikan dan mengganti serta mencuci popoknya. Tak pernah saya merasa sebahagia ini walaupun badan rasanya lelah. Lagipula, Mbak Rocker tidak merepotkan, dia tenang dan jarang sekali menangis tanpa sebab. Seperti yang saya bilang, dia bayi yang sangat anggun.

Banyak hal yang saya pelajari setelah saya menjadi ibu. Hal-hal 'teknis' seperti cara menyusui yang benar, cara memerah dan menyimpan asip, cara menggendong, macam-macam arti tangisan bayi, sampai ke hal-hal lain seperti bagaimana memanjakan diri sendiri di sela-sela mengurus bayi dan mengatasi segala perasaan yang berkecamuk di dalam hati setelah begitu banyak perubahan diri yang terjadi. Saya juga belajar bahwa di saat kita menjadi ibu baru, sangat penting untuk mau menerima uluran tangan yang meringankan beban kita. Perlahan tapi pasti, saya mulai merasa mantap dengan status dan tanggung jawab baru ini. Perjalanan saya baru sebentar, masih ada seumur hidup lagi yang menanti. Petualangan!

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku