Skip to main content

Bringing Up Bebe


Bulan puasa datang lagi.

Bulan puasa artinya pengurangan jam kantor yang tahun ini, banyak saya manfaatkan untuk memasak jualan tajil dan katering, hahaha. Dan karena pulang lebih awal, saya (yang tidak berpuasa) juga jadi punya lebih banyak waktu untuk menyelesaikan membaca buku-buku yang sudah lama dibeli namun belum dibuka plastiknya, apalagi dibaca!

Salah satu buku yang saya selesaikan baru-baru ini adalah Bringing Up Bebe karya Pamela Druckerman. Saya tertarik membelinya karena pada saat saya hamil Mbak Rocker, buku ini direkomendasikan di salah satu artikel di Female Daily (atau Mommies Daily ya, lupa). Sejak saat itu saya berniat membeli buku ini, namun Mr Defender baru menemukannya di Kinokuniya ketika bertugas ke Jakarta bulan lalu.

Dari semua buku parenting yang saya baca, akhirnya buku ini yang paling saya sukai. Ini adalah buku parenting pertama yang membuat saya merasa tidak sedang dihakimi, dan ini juga adalah buku yang paling realistis. Memang banyak yang membuat kening kita sedikit berkerut ketika membacanya, khususnya bagian persalinan dan menyusui, namun secara keseluruhan, saya rasa bagi perempuan Perancis, menjadi ibu tidak menghilangkan dirinya yang sebelumnya, dirinya sebelum menjadi orangtua. Dia tetap menyisihkan waktu untuk dirinya, suaminya, pekerjaannya, dan citra dirinya sebelum menjadi ibu.

And I think that's a very cool thing.

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku