Skip to main content

Tentang ART

Bukan art seni ya. Tapi asisten rumah tangga.

Banyak yang suka nanya gimana caranya saya bisa mempertahankan pengasuh anak saya lumayan lama. September ini sudah genap dua tahun dia bekerja di keluarga kami.

Dari banyaknya drama ART yang sering saya dengar dan baca, pertanyaan teman saya tadi rasanya memang tidak berlebihan. Memang susah sih jaman sekarang cari ART yang sesuai harapan. Kalaupun sudah dapat, lebih sulit lagi membuat dia betah lama-lama dengan kita. Mirip mirip lah ya sama jodoh, hahaha, nyarinya susah, memeliharanya lebih susah.

Tapi sebenarnya saya juga nggak punya rahasia apa-apa lho. Jangankan ke ART, rahasia bikin suami betah saja saya nggak punya. Selain mungkin saya memang beruntung, kunci langgengnta hubungan saya dengan ART cuma satu: kompromi.

Kompromi artinya luas. Yang terutama tentu saja sejak awal kompromi dengan nilai uang yang akan kita keluarkan untuk membayar jasanya. Kasih gaji yang layak, yang sesuai UMR kalau bisa. Nggak ada tapi. Nggak ada "tapi kan walau gajinya kecil saya perlakukan dia bagai keluarga" atau "tapi kan dia kerja nggak berat". No nonsense. ART juga kerja cari uang, buibuk, kalau cari keluarga mah ikutan biro jodoh aja. Bagaimana ART mau betah kalau gaji aja nggak cukup.

Lalu, kompromi dengan beban kerja juga. Sepakat tentang apa saja tugasnya setelah sepakat berapa gajinya. Jangan bilangnya nyari orang untuk jaga rumah aja, eh ujungnya jadi babysitter plus koki plus tukang kebun dan tukang pijet.
Hello, ini ART buka romusha. Kalau kita bayar untuk jasa babysitter, ya minta pelayanan babysitter aja. Jangan lewati batas. Kalau kerjaan terlalu berat, semua juga pasti nggak betah.

Kompromi dengan jam kerja juga penting. Kasih waktu libur, dan jangan suruh kerja sampai malam. Semua orang juga butuh me time, buibuk.

Dan yang terakhir tapi menurut saya tak kalah penting: kompromi dengan pribadinya. Kalau ada yang tak sesuai dengan kita, ada sifatnya yamg tak kita suka, selama kerjaan beres dan kita nggak dirugikan, ya sudahlah, berkompromilah. ART hobi dangdutan? Let it be. ART pacaran sama sopir tetangga? Asal nggak ganggu kerjaan, que sera sera. Don't sweat the small stuffs. ART juga manusia yang butuh privasi, butuh ruang pribadi dan aktualisasi diri.

Jadi, sudah tahu kenapa aRT nya nggak betah, bu?

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku