Skip to main content

Berebut Panggung

Beberapa bulan yang lalu, saya menghadiri sebuah acara pembentukan kelompok kerja yang sangat bergengsi dan cultured. Saya hadir atas ajakan seorang sahabat. Karena lingkaran pertemanan saya banyak beririsan, di sana saya bertemu dengan seorang teman lain yang juga akan dikukuhkan sebagai salah satu anggota kelompok tersebut. Si teman ini mengajak saya mengobrol dan tahulah saya bahwa ada beberapa sahabat saya yang lain yang tidak menghadiri acara ini padahal mereka juga seharusnya dilantik pada hari itu.

Sepulang acara saya menghubungi sahabat-sahabat ini dan terlibatlah kami dalam diskusi panjang lebar. Sahabat saya ini, si idealis, dia menolak menghadiri acara tadi karena acaranya sudah dimanfaatkan sebagai agenda politik seorang caleg. Oh baiklah. Lalu sahabat yang lain bilang kalau dia malas karena acara itu diprakarsai oleh seorang tokoh yang selama ini mengklaim hasil kerja keras mereka sebagai relawan dan diakui sebagai pekerjaan bersama atas inisiatif dan binaannya. Si tokoh ini sudah punya reputasi di kalangan cultured ini sehingga semua percaya bahwa kegiatan yang dilakukan sahabat saya dengan susah payah itu adalah prakarsa si tokoh ini.

Baiklah.... saya menarik nafas panjang. Saya baru tahu bahwa bahkan di dunia relawan pun ternyata orang masih saja berebut panggung. Orang-orang yang sama sama hebat dan sama sama punya tujuan mulia untuk mencerdaskan bangsa bisa terpecah karena berebut panggung, berebut jadi bintang yang disorot. Berebut pengakuan.

Lalu saya teringat Jokowi dan Prabowo.

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku