Dulu saya selalu merasa bahwa saya anak yang istimewa. Biasalah, saya anak yang dibesarkan oleh bapak dan ibu yang menaruh harapan besar untuk anaknya, dan mereka mendidik saya dengan mempercayai hal itu. Saya jadi terpapar oleh banyak pengetahuan sedari kecil, ikut berbagai lomba dari balita, bisa membaca di umur tiga tahun, dan secara umum selalu dituntut untuk menjadi yang terbaik di segala bidang. Mulai dari lomba balita sehat sampai menghafal nama menteri, saya wajib ikut dan dapat juara.
Mirip-mirip seperti kisah di Hymn Battle of A Tiger Mom, bagi bapak ibu saya, saya harus jadi yang terbaik di semua kelas kecuali olahraga dan seni. Dan ketika saya sebut 'tidak harus jadi yang terbaik' di sini, artinya bukan kartu free pass boleh nggak ikut lho. Saya tetap harus ikut sanggar tari, ikut main badminton dan voli. Saya cuma diberikan 'pemakluman' kalau nggak harus jadi juara tari, nggak harus ikut kejuaraan badminton (yang saya juga nggak bakat) tapi harus tetap usaha. Chinese parenting banget lah orang tua saya. Kegiatan ekstrakurikulernya seabrek: ikut sanggar tari, les matematika, les bahasa Inggris, les musik ansambel, privat mengaji, trus sewaktu SMP ditambah dengan Pramuka, ikutan OSIS karena menurut bapak itu bagus, kursus tata boga, baris berbaris (buat apa coba?).
Apakah saya tertekan? Tidak juga, sih. Mungkin karena saya pada dasarnya juga narsis, suka berkompetisi, suka menonjol, suka jadi yang terbaik.
Tapi itu nggak bertahan lama. Sewaktu SMA, karena bersekolah di salah satu sekolah terbaik di kota, plus wajib masuk kelas akselerasi, saya jadi sadar bahwa banyak orang yang lebih pintar dan berbakat dari saya. Saya nggak pernah ranking, nilai selalu di ambang batas kemiskinan, masih syukur bisa bertahan di kelas aksel. Saya juga nggak ikut kegiatan macam-macam, nggak ikutan les apa pun karena buat ngikutin pelajaran kelas aksel aja capek banget.
Anehnya, saya merasa masa itu liberating banget. Saya merasa senang banget nggak terbebani harus jadi yang nomor satu. Tekanan dari orangtua saya juga berkurang jauh, mungkin sadar ya sekolah di aksel sudah susah, jadi nggak banyak tuntutan lain selain saya harus lolos SPMB dan kuliah di universitas negeri. Saya jadinya banyak main, banyak waktu buat baca novel 'berat' kayak Ziarah-nya Iwan Simatupang, Para Priyayi, novel-novel Ahmad Tohari, AA Navis, Chairil Anwar, dan bahkan buku Ayu Utami dan Dee yang baru terbit.
Sejak SMP saya suka menulis, cuma itu bukan hobi yang perlu dikembangkan menurut ibu. Saya membuat ratusan cerpen dan dua novel ketika SMP, sebagian terbit di Bobo namun lebih banyak lagi yang hilang entah di mana. Sewaktu SMA karena sibuk bergaul dan mengejar pelajaran, saya cuma berhasil menulis satu serial panjang yang terdiri atas cerpen-cerpen. Itu juga hilang. Menurut guru sastra Indonesia saya, saya lumayan berbakat jadi penulis. Hahahaha. Guru sastra itu adalah guru favorit saya sepanjang SMA.
Dulu saya merasa bakat menulis saya itu luar biasa banget. Tentunya ini efek kebanyakan dipuji waktu masih kecil. Maka begitu saya ternyata sering gagal dan ditolak penerbit atau majalah, nggak menang lomba menulis, saya lumayan terpukul mengetahui bahwa saya tak seberbakat itu. I just live in my own bubble. Ketika datang di dunia penulis yang nyata, saya keder.
Lalu jaman SMA berlalu, saya keterima di empat kampus negeri yang saya daftar (untuk sesaat kepercayaan diri saya pulih) dan memilih ke Jakarta. Waktu kuliah di salah satu kampus terbaik di Indonesia dan sadar IPK saya nggak seberapa, mediocre banget, saya jadi sadar bahwa status "diterima di UGM, UNS, STAN dan STIS" itu nggak penting banget karena toh prestasi saya biasa aja. I'm not that special, and that's totally okay.
Saya nggak menyesali prestasi kuliah D3 saya yang nggak mentereng, karena toh masa kuliah waktu itu menyenangkan banget. Saya ikutan mapala, bertemu banyak teman sejati (di situ juga saya ketemu Mr Cajoon dan Mr Mountainbike) dan merasakan banyak hal baru: naik gunung (yang dari SMP saya suka tapi dilarang), berkemah, menelusur goa, arung jeram.... Saya suka kehujanan di alam terbuka dan tidur di bawah langit berbintang. I love that time so bad. Sampai sekarang pun tiap ada kesempatan mau banget rasanya saya ikutan kegiatan mapala saya. Bareng mereka saya juga sering bikin acara, beberapa di antaranya adalah gigs terbesar di kampus. Tapi saya nggak merasa bangga yang gimana, saya lebih merasa senang dan seru bisa menjalani itu bareng sahabat-sahabat saya.
Fast forward sekarang, saya sebentar lagi lulus D4 dan jadi sarjana, bakalan kerja di salah satu lembaga tinggi negara dengan judul pekerjaan yang mentereng. Apakah saya bangga? Nggak juga. Mungkin saya yang dulu bakal bangga ya. Sekarang saya merasa ini belum apa-apa. Saya mau santai aja, menikmati masa kuliah yang mungkin nggak akan terulang ini, pengen forever young aja :) Nggak pengen mengejar karir apa gimana, pengen lama-lama di state novice dan bukan siapa-siapa, karena itu artinya saya masih muda.
Saya, ternyata bisa juga jadi 'orang biasa'.
Comments
Post a Comment