Skip to main content

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion. Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir).


Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilitas yang lumayan, tekanan kerja yang tidak terlalu berat. Saya suka semua tentangnya, kecuali pekerjaannya sendiri, hahaha. Ironis, bukan.

Bekerja sesuai passion adalah kemewahan yang menurut saya hanya sedikit orang yang menikmatinya. Bahkan, menurut beberapa teman saya yang mendeklarasikan diri menjalani pekerjaan impiannya, bahkan pekerjaan impian tetaplah pekerjaan, yang menuntut rasa tanggung jawab dan terkadang juga menimbulkan rasa bosan, tidak jauh beda dari pekerjaan biasa lainnya. Dan ada pula seorang teman yang setelah meninggalkan pekerjaannya (yang sesuai dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman kerjanya bertahun-tahun) untuk sebuah pekerjaan yang sesuai dengan minatnya, akhirnya menemukan bahwa setelah hobinya menjadi pekerjaan, dia menyadari bahwa ternyata she's not excel in her new field (which is her passion). Sedihnya lagi, dia merasa bosan dan tidak menikmati hobinya itu. Mengerikan, ya? Akhirnya teman saya itu meninggalkan pekerjaan impiannya dan kembali ke pekerjaannya sebelumnya, yang sesuai dengan pendidikan dan keahliannya.

Sometimes, something we love to do isn't something we're excel at. Itulah mengapa mengerjakan pekerjaan impian (sesuai minat) tidaklah semudah itu, bahkan setelah kita menemukan minat kita.  Karena berminat belum tentu berbakat, kan? Lalu apa kabar saya yang menemukan minat saja belum? Kapan lagi mau menumbuhkan bakat? Atau saya harus menyerah saja dan menjalani hidup apa adanya, ala kadarnya seperti jutaan orang lainnya?

Atau mungkin saya harus berhenti mempertanyakan passion, dan melakukan saja hal yang saya suka tanpa harus menjadikannya sumber penghidupan?

Comments

  1. Exactly what I thought about "passion" these days. Berminat belum tentu berbakat. Ener banget ya 😢

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku