Skip to main content

Too Much Information

Dulu jaman awal kenal sosial media yang namanya friendster, pas belum banyak yang main, rasanya itu nggak pede pasang muka dan nama sendiri. Yang dipasang nama alias plus foto kartun. Trus lama-lama friendster jadi rame, saya ikutan pasang foto narsis plus nama asli. Tapi ya sudah, gitu aja. Nggak sering bikin album atau update apa yang terlalu pribadi. Paling cuma seminggu sekali dibuka, lihat ada friend request apa nggak, ada yang kasih testi apa nggak.

Hm. Jaman sekarang ya. Dengan serbuan bbm, twitter, facebook... Rasanya teman yang jauh jadi begitu dekat dalam genggaman. Malahan kita bisa mention artis atau bahkan pejabat negara di twitter dan ngobrol langsung.
Ngomongin facebook. Facebook bikin kita bisa terkoneksi sama teman SMP dan SMA. Nggak seperti friendster yang orang pakai nama alay plus foto kartun, di facebook biasanya orang pakai foto dan nama asli, jadi gampang di-search. Facebook juga bikin gampang untuk sharing segala macam, mulai dari bahan ujian, informasi sampai posting foto-foto.

Dan gara-gara kemudahan itu, timeline saya jadi banjir. Ada yang tiga hari sekali posting foto muka sendiri, ada yamg hobi umbar kemesraan sama pasangan, ada yang ikutan aneka games dan tiap naik level muncul di timeline, ada juga yang hobi update status lima menit sekali.

Rasanya kita jadi tau banget kehidupan seseorang cuma dari laman facebook nya. Padahal bisa jadi kita nggak kenal-kenal amat, tapi kita tahu dia ngapain aja seminggu ini, tau dia in relationship sama siapa, kalau putus juga kita tau. Berasa stalker nggak sih? Terus ya, kadang ada yang berantem sama pacar di facebook. Bales-balesan komen di status facebook, sampai hal yang pribadi banget yang bisa di sms atau bbm aja ikutan nongol di status facebook.

Belum lagi twitter. Dulu twitter itu adalah media favorit saya (sekarang juga masih sih). Ada yang suka bikin kultwit. Ada yang tiap nemu kerikil di jalan aja ditwit. Apa-apa ditwit. Trus karena twitter bukan kayak facebook yang harus berteman dulu kalau mau lihat timeline, di twitter kita bisa balas-balasan twit sama artis dan selebtwit. Kadang ada yang suka ngetwit hal-hal kontroversial trus jadi twitwar. Hm.

Semuaaaa urusan pribadi kita kok jadi tontonan umum ya. Sampai tak tersisa ruang buat privasi. Harus ya begitu banget? Eneg lho, baca timeline isinya pertengkaran pacar, besoknya mesra mesraan lagi. Ugh.

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku