Skip to main content

downgrade?

Siang kemarin pada jam istirahat makan siang, kami berbaring sebentar di kamar, berbicara tentang banyak hal. Lalu Mr Defender bilang pada saya, "Ning, kamu inget nggak dulu kamu pengen beli tas Coach?"

"Inget. Tapi nggak dalam waktu dekat ya. Kan sekarang orientasinya kitchen set sama pasang paving block hehehe."

Mr Defender berkata, "Aku sedih karena jangankan Coach, sekarang kamu nggak bisa lagi beli Guess atau Mango. Aku sedih kamu harus pikir-pikir dulu sebelum beli CnK atau Kickers."

Saya merasa tersentuh sekali. Oh dia tahu ya ternyata merek-merek tas dan sepatu yang saya sukai. Hahaha, bercanda. Saya terharu karena saya bahkan nggak sadar bahwa saya pikir-pikir dulu untuk sepasang Kickers (dan berakhir membeli Bucheri atau Fladeo saja). Setelah diingat-ingat lagi, saya baru sadar bahwa sejak menikah saya jadi 'downgrade' segala merek barang yang saya pakai, dari Guess ke Elizabeth, dari Anna Sui ke Oriflame, dari Body Shop ke Mustika Ratu, dan masih banyak lagi. Termasuk pindah dari Rudy Hadisuwarno dan Natasha ke salon rumahan, hahahaha.

Padahal saya dengan inisiatif sendiri kok melakukan itu. Dengan senang hati malah. Soalnya sejak saya sadar bahwa cicilan rumah itu kalau kata Syahrini sesuatu banget, dan harga perabotan untuk mengisinya nanti (sedikit demi sedikit) juga lumayan sesuatu, maka saya juga harus melakukan penghematan yang sesuatu banget. Tapi saya juga nggak mau menderita-menderita amat, makanya saya sebisa mungkin melakukan penghematan di pos-pos yang tidak mengurangi esensi kenikmatan hidup. Toh parfum Oriflame wangi-wangi aja kok. Toh muka saya nggak berubah jerawatan hanya karena nggak facial di Natasha. Toh Fladeo atau CnK atau bahkan Louboutin kan sama-sama diinjak juga. Kenyamanannya memang beda sih, tapi bedanya sebanding kok dengan penghematannya.

Soalnya sejak akad KPR, memang keuangan nggak seleluasa dulu, yang bisa shopping begitu saja tanpa pikir-pikir. Sekarang mau nonton XXI aja dijadwal sebulan sekali, hahahaha. Bukannya miskin sih, tapi namanya juga lagi mengencangkan ikat pinggang ya, demi bisa membeli si perabot rumah lebih cepat.

Saya nggak tahu kalau ternyata pasangan saya kepikiran dengan semua itu. Jadinya saya antara pengen nangis dan tertawa.

"Sudahlah Ko, aku sudah puas kok ngerasain pakai tas Guess. Sudah pernah juga ngerasain pakai tas tiga puluh ribu beli di Melawai. Jadi nggak apa kalau pakai yang sekarang. Kalau ada uang kan nanti beli Coach atau LV bisa kapan aja. Bahkan Ligwina Hananto aja menolak pakai LV sebelum standar hidupnya naik lho. Lagian kita kan sekarang downgrade bukan karena jatuh miskin atau apa, tapi emang diniatin buat rumah dan isinya."

"Iya, tapi aku tetap sedih, nggak bisa bikin kamu hepi dengan bisa beli ini itu kayak dulu."

Dan jadi deh akhirnya saya nangis. Bukan karena nggak bisa beli tas Coach tentunya, tapi saya terharu sekali, beruntung sekali saya punya suami yang mikirin segala-galanya, memperhatikan saya sampai hal sekecil-kecilnya, bahkan sadar kalau saya berganti merek bedak dan sabun tanpa saya kasih tau. I'm so damn lucky.

Dan siang itu kami kembali ke kantor dengan saya bernyanyi-nyanyi riang, I was smiling like the happiest girl on earth, I don't even need that Coach bag!

Comments

  1. Terharu bacanya, karena sedikit banyak ngalamin hal yang sama kali ya hahaha. Bedanya suamiku ga se-ngeh itu deh sama pengorbanan istrinya :P

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku