Skip to main content

Milestone Anak

Sewaktu hamil dulu, saya langganan newsletter mingguan dari babycenter yang memberitahu saya perkembangan janin setiap minggu. Dia sudah sebesar apa (babycenter selalu menggambarkan dengan makanan dan saya suka itu, misalnya dia akan bilang Mbak Rocker sebesar biji almond, lalu tomat, lalu alpukat), berapa perkiraan beratnya (lalu saya akan senang jika berat janin ketika di-USG dokter berada di kisaran yang sama), organ apa saja yang sudah terbentuk, dan sebagainya-dan sebagainya. Rasanya senang membaca sebelum pergi ke dokter kandungan, lalu ketika berada di ruang periksa dokter saya jadi bisa menanyakan ini itu kepada dokter. Apakah jari tangan sudah terbentuk, apakah kelaminnya sudah terlihat. Rasanya nyaman dan tenang mengetahui si janin berada di jalur yang seharusnya sesuai jadwal perkembangan standar.

Namun setelah Mbak Rocker lahir, saya berhenti berlangganan newsletter. Mengapa? Karena selanjutnya dia akan mengirimkan buletin bulanan berisi jadwal standar perkembangan bayi kita. Usia sebulan seharusnya sudah bisa begini, usia tiga bulan standarnya bisa ini itu dan anu. Dan saya entah tidak siap atau memang tidak ingin membacanya, takut saya akan merasa panik jika perkembangan Mbak Rocker kurang atau berbeda dibandingkan dengan yang 'terstandar'.

Sejujurnya, Mbak Rocker malahan tumbuh lebih cepat dari anak-anak seusianya. Usia seminggu, dia sudah tidur nyenyak tanpa membuat saya begadang sepanjang malam. Dia tidak pernah menangis gero-gero saat dimandikan pagi dan sore. Di usia dua bulan lebih beberapa hari, dia sudah tengkurap dan mengangkat kepalanya. Dia juga sudah setengah berceloteh dan menarik semua mainan di baby gym. Bahkan baby gym-nya sampai rubuh. Aktif banget deh.

Tapi, saya tetap tidak mau mengecek milestone di babycenter atau tempat lain. Selama Mbak Rocker sehat, beratnya normal, dan ceria, itu cukup.

Membandingkan milestone anak yang satu dengan yang lain saya kira tidak akan memberikan apa-apa selain tambahan stres bagi orangtua baru. Panik karena anak teman yang seumuran sudah bisa berjalan, misalnya. Bukankah semua anak akan tumbuh sesuai ritme masing-masing nantinya, untuk apa berlomba siapa yang pertama.

Saya ingin sekali bisa mempertahankan diri untuk tidak membanding-bandingkan ini sampai kelak ketika anak saya tumbuh semakin besar. Tidak menuntut dia untuk bisa baca ketika teman seumurannya sudah, misalnya. Saya dan Mr Defender sepakat tidak ingin menyekolahkan anak cepat-cepat. Bukankah kalau kerja nanti nggak ditanya umur berapa bisa mengenal huruf-huruf dalam alfabet? Saya nggak minat menjadi ibu seperti dalam Hymn Battle of A Tiger Mom. 

Saya sendiri bisa baca di usia belum genap tiga tahun, bisa membaca novel tebal sejak TK dan juara menghafal nama mentri-mentri (buat apa coba kalau dipikir?) tapi toh saya juga begini-begini aja, nggak jadi ilmuwan roket. Sebaliknya, Thomas Alva Edison sering dianggap bodoh tapi dia berhasil menjadi penemu terbesar di dunia. Bahkan tanpa Edison dunia akan gulita karena tidak ada lampu pijar.

Jadi, mengapa kita tidak bersantai saja, dan membiarkan anak tumbuh sebagaimana adanya?


Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku