Skip to main content

Perempuan

Kalau diperhatikan, banyak sekali keribetan hidup menjadi perempuan. Uniknya, apabila diperhatikan lebih teliti, sebagian besar keribetan itu datang dari sesama perempuan sendiri. Sebagai contoh, masalah dandan vs tampil au naturel, sepatu hak tinggi atau sneakers, kuliah tinggi atau menikah, melajang atau menjadi ibu, dan seterusnya. Seringnya yang mempermasalahkan hal-hal di atas, ya perempuan sendiri. Yang tidak dandan merasa lebih cantik alami lalu mencibir yang bermake up. Yang langsung kuliah S2 begitu lulus S1 merasa lebih maju lalu mencemooh mereka yang bersegera menikah, begitu pun yang menikah merasa diri lebih cepat laku lalu memandang yang lajang sebelah mata. Dan seterusnya. Perempuan selalu suka bersaing.

Sejak menjadi ibu, saya jadi tahu bahwa ada satu persaingan yang membuat segala persaingan yang saya sebutkan sebelumnya jadi terasa tidak begitu sengit: persaingan menjadi ibu terbaik. Daftarnya sangat panjang: melahirkan normal vs cesar, ASI vs susu formula, cloth diaper vs popok sekali pakai, terus bekerja vs menjadi ibu rumah tangga, dan seterusnya dan seterusnya. Mungkin nanti saat anak-anak sudah sekolah akan berlanjut menjadi homeschooling vs sekolah biasa, atau sekolah nasional vs internasional, bahasa pengantar Inggris atau Arab. 

Mengapa?

Mengapa sepertinya sulit sekali bagi kita perempuan untuk berdamai dengan sesama perempuan lain? Mengapa pilihan perempuan lain tentang bagaimana mereka membesarkan anak menjadi penting dan sedemikian mengganggunya jika berbeda dengan pilihan kita? Bukankah semua ibu pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya? Mengapa kita harus menghakimi keputusan-keputusan yang diambil ibu lain untuk anak mereka? 

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,...

Tanpa Alasan Khusus

Sebagai penjelasan yang (mungkin) ditunggu oleh teman-teman yang kemarin sempat tahu bahwa kami, saya dan Mr Defender, sedang mempersiapkan pernikahan (dan menanti undangan yang tak kunjung datang) maka saya merasa perlu memberitahukan bahwa kami sepakat untuk menunda menikah dalam waktu yang belum ditentukan. Kalau di antara teman-teman ada yang bertanya mengapa, atau lebih tepatnya ada apa, maka kami akan menjawab, tidak ada apa-apa. Pernikahan, memang kami tunda, tapi bukan karena alasan finansial (walaupun ya, saya dan dia memang kebetulan sama-sama sedang dalam kondisi finansial kurang bagus), bukan karena ada masalah dengan keluarga (bukan berarti masalah itu tidak ada, tapi bukan itu penyebab tertundanya pernikahan kami), juga bukan karena kami mendadak tidak yakin pada satu sama lain. Kami menunda karena belum siap (klise bukan). Atau tepatnya belum ingin. Tentu saja kami masih saling mencintai dan ingin menikah, suatu hari nanti. Tapi sekarang, kami merasa cukup nyaman ...

Sekolah Baru

Selamat tahun ajaran baru! Tahun ini Mbak Rocker masuk Sekolah Dasar di sekolah swasta yang sudah kami pertimbangkan bersama masak-masak selama beberapa waktu lamanya. Tambahan yang tak terduga, si Racun Api mendadak mogok sekolah di sekolah lamanya sehingga kami memutuskan untuk memindahkannya ke Taman Kanak-Kanak yang satu yayasan dengan sekolah kakaknya sekarang. Tentu saja walaupun mendadak dan tanpa rencana, proses pindah sekolah ini berlangsung dengan huru-hara dan drama singkat yang puji syukur bisa teratasi tanpa perlu ikut drama di media sosial. Yang penting, tahun ajaran baru datang dan anak-anak sudah bersekolah di sekolah baru. Amin! Allahu akbar! Bersekolah di sekolah baru ini, sungguh membuka mata saya tentang banyak hal. Terutama, tentang bagaimana rasanya menjadi minoritas. Saya lupa apakah sudah pernah bercerita, tetapi sekolah anak-anak yang sekarang menggunakan bahasa Inggris dan Mandarin sebagai pengantarnya. Tentu saja kami sudah tahu sebelumnya, dan bahkan ...