Skip to main content

Gadis Pantai



Bukan, bukan judul novel Pramoedya Ananta Toer.

Tapi anak saya, Mbak Rocker. Tinggal di pulau kecil yang dikelilingi laut memang membuat kegiatan kami nggak jauh-jauh dari bermain di pantai. Main air dan main pasir. Kadang mencari kerang-kerang di sepanjang pantai. Kalau kami beruntung, kadang menyaksikan kerang yang masih hidup, juga kepiting kecil menggali lubang di atas pasir. Kadang anak-anak saya mengumpulkan rumput laut yang hanyut terbawa ombak, lalu kami akan membawanya pulang untuk dikeringkan lalu dibuat agar-agar atau es rumput laut. Kadang mereka menerbangkan layang-layang. Kadang kami tidak turun ke pasir sama sekali, hanya duduk di warung, anak-anak bermain ayunan dan kami minum es kelapa. Menikmati pisang goreng dan pisang kapah dengan sambal cocol yang segar dan nikmat. Merasakan hembusan angin sepoi-sepoi. Menatap langit yang birunya aduhai.

Hidup sederhana memang nikmat, kata Mr Defender. Bukankah suasana santai begini yang semua orang cari dan rindukan? Makanya situs-situs traveling yang berjualan tiket dan kamar hotel serta paket-paket liburan laris manis. Karena orang kota lelah dengan segala hiruk pikuk dan rutinitas yang mereka hadapi setiap hari. Mereka butuh bersantai melepas lelah dan penat, melupakan sebentar semua yang membuat stres, menghirup udara segar kebebasan.

Sedihnya, butuh tiket pesawat untuk itu.

Sedangkan kami, setiap sore bisa saja melempar mainan cetakan pasir anak-anak, memasukkan satu dua baju ganti dan berangkat ke pantai. Alangkah mewahnya. Setiap saat kami menghidup udara laut yang segar, melihat langit biru yang cantik.

Tetapi, lagi-lagi, bukankah semuanya soal mindset? Stres-lah yang membuat kita nggak bisa menikmati kecantikan Kota Jakarta, atau kota besar lain. Padahal mungkin di sana banyak hal yang seru dan tempat yang cantik, namun pikiran kita sudah kadung mengasosiasikan kota dengan tetek bengek rutinitas yang membuat ingin muntah. Sehingga kita nggak bisa menghargai keindahannya, apalagi menikmati.

Begitu pun dengan saya. Saat stres, seindah apa pun alam di sekitar saya pasti juga nggak akan membuat saya bahagia. Sikap kitalah yang membuat segalanya nikmat. Seperti kata Jason Mraz, you don't need a vacation if there's nothing to escape from. 

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,...

Sekolah Baru

Selamat tahun ajaran baru! Tahun ini Mbak Rocker masuk Sekolah Dasar di sekolah swasta yang sudah kami pertimbangkan bersama masak-masak selama beberapa waktu lamanya. Tambahan yang tak terduga, si Racun Api mendadak mogok sekolah di sekolah lamanya sehingga kami memutuskan untuk memindahkannya ke Taman Kanak-Kanak yang satu yayasan dengan sekolah kakaknya sekarang. Tentu saja walaupun mendadak dan tanpa rencana, proses pindah sekolah ini berlangsung dengan huru-hara dan drama singkat yang puji syukur bisa teratasi tanpa perlu ikut drama di media sosial. Yang penting, tahun ajaran baru datang dan anak-anak sudah bersekolah di sekolah baru. Amin! Allahu akbar! Bersekolah di sekolah baru ini, sungguh membuka mata saya tentang banyak hal. Terutama, tentang bagaimana rasanya menjadi minoritas. Saya lupa apakah sudah pernah bercerita, tetapi sekolah anak-anak yang sekarang menggunakan bahasa Inggris dan Mandarin sebagai pengantarnya. Tentu saja kami sudah tahu sebelumnya, dan bahkan ...

Cyin, Pertanyaan Lo Gengges Deh!

Kemarin, entah untuk ke berapa ratus kalinya saya mendapat pernyataan (sekali lagi pernyataan bukan pertanyaan) yang sama: "Kamu kok nggak nikah-nikah sih." Saya sih sudah kehilangan selera menjawab. Soalnya, apa pun jawaban saya pasti salah deh. Mereka yang ngajak ngomong itu emang nggak niat pengen diskusi, apalagi perhatian. Niat mereka cuma mencerca dan menyudutkan, itu saja. Jadi mau saya jawab apa pun, selalu di-counter lagi sama dia. Saya sampai hafal kalau saya jawab A, mereka bakal balas B. Misalnya saya jawab, pengen kuliah lagi, pasti mereka balas, apa sih artinya pendidikan tinggi kalau nggak punya keluarga, apa yang mau diharapkan nanti di masa tua, pasti hidupnya hampa. Lalu kalau saya jawab lagi, prioritas hidup orang kan beda-beda, siapa tahu bagi mereka yang karir dan pendidikan tinggi tapi nggak membangun keluarga itu emang nggak pengen berkeluarga, kan? Siapa tahu mereka bahagia hidup sendiri. Tapi kalau saya jawab begini, pasti jadi panjang, dan s...