Skip to main content

Privilege

Setiap sehabis saya melakukan perjalanan menjadi relawan, saya selalu pulang dengan syukur dan kegelisahan. Rasa syukur dan kegelisahan saya, lucunya, punya sumber yang sama, yaitu dari melihat kesenjangan. Antara diri saya dengan mereka yang lebih tidak beruntung, di mana saya menjadi relawan. Saya dengan anak-anak pulau terluar yang tidak punya gedung sekolah. Atau saya dengan anak panti asuhan.

Saya tidak pernah bisa pulang tanpa merasa sedikit sedih. Saya sering merasa iri pada seorang teman, Miss Sunshine namanya, yang merupakan salah satu orang paling baik hati, ceria dan ringan tangan yang pernah saya kenal. Dia akan memberikan 100% di tempat dia menjadi relawan, lalu pulang ke kota dan spa di salon sehari penuh dengan sama cerianya. Saya tidak pernah bisa.

Setiap saya kembali, saya selalu merasa ditampar. Tamparan sakit yang layak saya dapatkan. Dan alangkah sering saya mengeluh tentang ketidaksempurnaan atau ketidakadilan hidup dan semesta pada saya. Bahwa saya seharusnya memiliki ini dan ini, bisa begini dan begitu, seandainya saja alam semesta lebih adil.

Namun alangkah salahnya saya. Alangkah sesungguhnya sudah terlampau banyak privilege yang diberikan kepada saya. Orangtua yang lengkap, masa kecil yang walaupun tidak berlimpah namun juga tidak berkekurangan, keluarga yang harmonis, kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi, lalu sekarang suami yang baik, anak-anak yang lucu, pekerjaan yang stabil, kesempatan belajar di dalam dan di luar negeri, kesempatan untuk bepergian dan melihat dunia...

Jika saya masih merasa layak mengeluh setelah membandingkan apa yang saya miliki dan apa yang belum saya miliki, memang kurang ajar rasanya ya. Saat ini seharusnya saya sudah menjadi tangan yang memberi, bukan yang mengeluh dan mengeluh.

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku