Setiap sehabis saya melakukan perjalanan menjadi relawan, saya selalu pulang dengan syukur dan kegelisahan. Rasa syukur dan kegelisahan saya, lucunya, punya sumber yang sama, yaitu dari melihat kesenjangan. Antara diri saya dengan mereka yang lebih tidak beruntung, di mana saya menjadi relawan. Saya dengan anak-anak pulau terluar yang tidak punya gedung sekolah. Atau saya dengan anak panti asuhan.
Saya tidak pernah bisa pulang tanpa merasa sedikit sedih. Saya sering merasa iri pada seorang teman, Miss Sunshine namanya, yang merupakan salah satu orang paling baik hati, ceria dan ringan tangan yang pernah saya kenal. Dia akan memberikan 100% di tempat dia menjadi relawan, lalu pulang ke kota dan spa di salon sehari penuh dengan sama cerianya. Saya tidak pernah bisa.
Setiap saya kembali, saya selalu merasa ditampar. Tamparan sakit yang layak saya dapatkan. Dan alangkah sering saya mengeluh tentang ketidaksempurnaan atau ketidakadilan hidup dan semesta pada saya. Bahwa saya seharusnya memiliki ini dan ini, bisa begini dan begitu, seandainya saja alam semesta lebih adil.
Namun alangkah salahnya saya. Alangkah sesungguhnya sudah terlampau banyak privilege yang diberikan kepada saya. Orangtua yang lengkap, masa kecil yang walaupun tidak berlimpah namun juga tidak berkekurangan, keluarga yang harmonis, kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi, lalu sekarang suami yang baik, anak-anak yang lucu, pekerjaan yang stabil, kesempatan belajar di dalam dan di luar negeri, kesempatan untuk bepergian dan melihat dunia...
Jika saya masih merasa layak mengeluh setelah membandingkan apa yang saya miliki dan apa yang belum saya miliki, memang kurang ajar rasanya ya. Saat ini seharusnya saya sudah menjadi tangan yang memberi, bukan yang mengeluh dan mengeluh.
Comments
Post a Comment