Skip to main content

let's stop telling eachother how busy we are...

... because it hurts.

Sadar nggak sih, kalau jaman sekarang ini semua orang kayaknya terlalu sibuk bahkan untuk meluangkan waktu untuk teman, keluarga dan orang tercinta? Seberapa sering obrolan diawali dengan "ke mana aja?" atau "sibuk terus?" dan kita tampaknya menikmati dan bahkan bangga dengan menjadi sibuk. Padahal sibuk belum tentu sama dengan produktif.

Seringkali kita (atau saya aja sih) pulang terlambat menemui anak-anak atau tidak menjemput mereka di sekolah dengan alasan lembur (walaupun memang lembur). Kita menunda-nunda liburan impian atau mengerjakan suatu proyek sidegig dengan alasan nggak ada waktu. Nggak memasak masakan favorit karena sudah terlalu capek akibat seharian sibuk. Bahkan untuk kencan dengan pasangan aja sering nggak sempat dengan alasan apa lagi kalau bukan sibuk.

Pun saat bersama orang tercinta, kita harus sering-sering menengok ponsel, membalas pesan singkat atau email, bahkan mengangkat panggilan yang konon katanya penting dan urgen. Saat bersama anak-anak kita masih melirik-lirik ponsel khawatir ada yang menghubungi. Apalagi saat bersama teman yang lama tidak ketemu, kadang yang kita lakukan hanya berfoto bersama, mengunggah di media sosial, lalu cipika-cipiki berpisah dengan alasan sibuk.

Tapi jujur saja, kenapa sih kita harus selalu sibuk?

Bukankah nanti di akhir hari, yang menjadikan hari ini manis adalah karena kita sempat minum teh santai sambil memandangi anak-anak belajar naik sepeda di halaman rumah? Yang membuat hari ini terasa spesial adalah karena kita menikmati sepotong pie susu buatan sendiri, sambil meneriaki anak-anak yang membuat dapur berantakan. Bercerita dengan pasangan tentang apa saja dan siapa saja, tanpa memandangi layar ponsel atau harus menerima telepon. Menghabiskan seharian di pantai, atau piknik di taman, atau berdiam bersama di rumah, karena kita bisa, karena kita tidak terlalu sibuk untuk meluangkan waktu demi hal terpenting.

Mari, habiskan waktu bersama. Hidup ini singkat, umur ini terbatas, dan waktu yang hilang takkan pernah kembali.


Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,...

Sekolah Baru

Selamat tahun ajaran baru! Tahun ini Mbak Rocker masuk Sekolah Dasar di sekolah swasta yang sudah kami pertimbangkan bersama masak-masak selama beberapa waktu lamanya. Tambahan yang tak terduga, si Racun Api mendadak mogok sekolah di sekolah lamanya sehingga kami memutuskan untuk memindahkannya ke Taman Kanak-Kanak yang satu yayasan dengan sekolah kakaknya sekarang. Tentu saja walaupun mendadak dan tanpa rencana, proses pindah sekolah ini berlangsung dengan huru-hara dan drama singkat yang puji syukur bisa teratasi tanpa perlu ikut drama di media sosial. Yang penting, tahun ajaran baru datang dan anak-anak sudah bersekolah di sekolah baru. Amin! Allahu akbar! Bersekolah di sekolah baru ini, sungguh membuka mata saya tentang banyak hal. Terutama, tentang bagaimana rasanya menjadi minoritas. Saya lupa apakah sudah pernah bercerita, tetapi sekolah anak-anak yang sekarang menggunakan bahasa Inggris dan Mandarin sebagai pengantarnya. Tentu saja kami sudah tahu sebelumnya, dan bahkan ...

Cyin, Pertanyaan Lo Gengges Deh!

Kemarin, entah untuk ke berapa ratus kalinya saya mendapat pernyataan (sekali lagi pernyataan bukan pertanyaan) yang sama: "Kamu kok nggak nikah-nikah sih." Saya sih sudah kehilangan selera menjawab. Soalnya, apa pun jawaban saya pasti salah deh. Mereka yang ngajak ngomong itu emang nggak niat pengen diskusi, apalagi perhatian. Niat mereka cuma mencerca dan menyudutkan, itu saja. Jadi mau saya jawab apa pun, selalu di-counter lagi sama dia. Saya sampai hafal kalau saya jawab A, mereka bakal balas B. Misalnya saya jawab, pengen kuliah lagi, pasti mereka balas, apa sih artinya pendidikan tinggi kalau nggak punya keluarga, apa yang mau diharapkan nanti di masa tua, pasti hidupnya hampa. Lalu kalau saya jawab lagi, prioritas hidup orang kan beda-beda, siapa tahu bagi mereka yang karir dan pendidikan tinggi tapi nggak membangun keluarga itu emang nggak pengen berkeluarga, kan? Siapa tahu mereka bahagia hidup sendiri. Tapi kalau saya jawab begini, pasti jadi panjang, dan s...