Skip to main content

minimal.is.me


Setelah beberapa bulan sebelumnya saya memulai decluterring dengan menyumbangkan sebagian besar isi lemari saya, saya melanjutkan dengan yang lain: buku, mainan anak-anak, barang pecah belah, dan perabotan rumah yang tidak diperlukan lagi tetapi kondisinya masih bagus. Tadinya sih karena saya sumpek melihat barang-barang menumpuk tak terpakai di rumah. Tapi lalu saya jadi merasa senang dan ketagihan karena ada rasa lega ketika barang-barang itu keluar dari rumah, apalagi karena barang-barang itu akan berada di tangan yang lebih baik (saya berikan kepada teman atau tetangga yang menginginkannya) atau di tempat yang lebih memerlukan (saya sumbangkan atau saya berikan kepada teman relawan untuk dijual dan hasilnya untuk mendanai kegiatan kami).

Untuk sesaat, bahagia rasanya (merasa) menjadi orang yang lebih baik.

Kemudian, setelah lemari dan rumah rasanya lebih lega, ternyata ada lho dorongan untuk kembali membeli barang-barang atau pakaian untuk mengisi tempat yang sekarang terasa kosong. Apalagi kan semacam capsule wardrobe gitu kadang memang menyarankan kita untuk overhaul isi lemari, membuang semua yang lama dan beli baru kan ya. Saya sendiri pun sempat tergoda untuk mengganti semua baju-baju lama saya dengan baju-baju minimalis hitam putih abu-abu yang cocok dipakai dengan apa saja seperti janji-janji fashion blog minimalis.

Tapi saya lalu berpikir, untuk apa saya melakukan decluttering besar-besaran kalau ujung-ujungnya cuma membeli yang baru? Ini sih judulnya lingkaran setan dong, hehehe. Lagipula kembali lagi ke tujuan saya awalnya merombak isi lemari kan untuk hidup lebih sederhana, living with less, bukan untuk mengubah citarasa berpakaian saya menjadi minimalist aesthetic.

Berangkat dari pemikiran itu, saya juga akhirnya stop belanja belanji yang nggak terlalu perlu (khususnya skin care dan kosmetik, saya sekarang menghabiskan dulu yang lama sebelum membeli yang baru dan mencoba tidak tergoda mencoba ini itu). Enak lho ternyata nggak lagi perlu online window shopping seperti yang biasa saya lakukan tiap ada waktu luang. Enak rasanya nggak selalu bertanya-tanya, butuh apa lagi, mau beli apa lagi. Dan tentunya juga ramah di kantong dan dompet dan kartu kredit, hehehe.

Yet I feel like I already have everything I need.


Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku