Skip to main content

Cerita Odong Odong

Kemarin, anak-anak sedang luar biasa aktif dan rewelnya. Setelah seharian nggak tidur siang menurut laporan pengasuhnya, sore-sore ketika saya pulang kantor mereka minta diajak makan "epsi", istilah Mbak Rocker untuk KFC. Sebagai ibu bekerja yang sadar diri kurang banyak meluangkan waktu dengan anaknya, maka saya pun seperti biasa menebus rasa bersalah itu dengan memanjakan mereka dalam hal jajanan, hahaha... Pergilah kami berempat ke KFC, di mana mereka seperti biasa nggak hanya makan, tetapi main perosotan. Kebetulan juga lantai kedua gedung KFC itu memiliki tempat bermain ala-ala Timezone, dan anak-anak, seperti yang sudah diduga, minta lanjut ke lantai dua.

Magrib sudah menjelang, anak-anak belum juga puas bermain. Padahal saya, duh, boyok sudah mau copot rasanya setelah seharian tadi bekerja di kantor, bolak-balik kantor-rumah-sekolah-pasar-kantor lagi, belum lagi menangkapi si Racun Api yang maunya loncat saja dari ujung perosotan. Belum lagi badan saya rasanya lengket, belum mandi, baju juga belum ganti, cuma rok kantor saja yang berganti menjadi celana jins. Rasanya pengen sekali lekas pulang, mandi lulur dan setelah itu bersantai leyeh-leyeh di depan televisi, nonton marathon CSI.



"Ayo, Mbak, Adik, pulang yuk, sudah magrib!"

"Nanti BUUUUUU.."

Duh. Mulai deh, ngeyel.

"Mbak, ayo dong, ajak adiknya pulang, Mbak, besok kita main lagi."

Akhirnya Mbak Rocker menghampiri saya, dari raut mukanya dia berniat melakukan negosiasi. "Ibu, kakak mau pulang, tapi..." Nah, kan benar. Saya pikir dia mau minta beli mainan seperti biasa, yang seperti biasa juga ujungnya saya iyakan karena saya sudah lelah, biarlah saya sogok dia dengan...

"Kakak mau naik odong-odong!"

"Adek jugaaa..."

Waduh, belum berakhir perjalanan saya hari ini rupanya. Setelah berkali-kali dibujuk dengan hal lain tidak bisa juga, akhirnya Mr Defender mengalah dan ikutan membujuk saya untuk mengajak mereka ke tempat odong-odong. Biarlah, siapa tahu nanti di sana sekalian capek dan langsung tidur, kata suami saya.

Akhirnya kami pun menuju taman kota di mana odong-odong dan berbagai permainan anak lain berada. Saya dan Mr Defender duduk di kursi tunggu, sementara Mbak Rocker dengan canggihnya menggandeng si Racun Api, naik odong-odong, naik kincir angin, main pancing-pancingan ikan, mandi bola, sampai akhirnya...

"Adek mau naik kereta..."

Nah, ini dia, biasanya sudah sesi terakhir nih, kalau sudah minta naik kereta. Kami berempat pun naik, saya bersebelahan dengan Mbak Rocker, si Racun Api di sebelah bapaknya. Kereta masih ngetem, menunggu penuh. Mbak Rocker menyandarkan kepalanya di lengan saya, mulai mengantuk. Saya sendiri pun rasanya lelah sekali, saya pejamkan mata.

Di depan saya, ada seorang ibu dan dua anaknya. Anaknya yang besar sekitar umur sepuluh tahun, adiknya kira-kira sebesar Mbak Rocker, namun masih digendong dengan kain. Setelah saya perhatikan, adiknya sepertinya mengalami keterbelakangan, melihat dari ukuran kepala, sorot mata dan celotehnya yang seperti anak belum bisa bicara. Si kakak mengelus rambut adiknya, sambil bercerita kepada ibunya dengan wajah berseri.

Si ibu membetulkan gendongannya yang seat-seot. Pasti berat sekali menggendong anak sebesar itu dengan kain, pikir saya.

Kereta mulai berjalan. Hari sudah berganti malam, satu dua lampu menyala. Saya mengelus kepala Mbak Rocker. Si Racun Api pindah ke sebelah saya, mencari lengan saya yang satu lagi untuk dipeluk. Dia juga mulai mengantuk.

Dua kali memutari taman, si ibu dan dua anak di depan saya meminta turun, padahal jatah putaran masih satu lagi. Rupanya si adik menunjuk-nunjuk badut di taman. "Mau lihat badut, Nak?" si ibu bertanya dijawab anggukan.

Kereta berjalan lagi, si ibu menggendong anaknya masuk taman, nampak kepayahan namun berseri-seri. Saya jadi merasa malu, pastilah capeknya ibu itu berkali lipat dari saya, merawat anak berkebutuhan spesial dengan perlakuan yang pastinya juga spesial. Saya menghela nafas, menatap kedua buah hati saya yang sudah jatuh tertidur. Saya selesaikan satu putaran kereta sebelum kami akhirnya pulang.

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku