Tahun ini berawal dengan cukup berat bagi orang-orang di sekeliling saya: seorang anggota keluarga inti sakit, seorang kolega yang cukup dekat dengan kami kehilangan posisi penting di tempat kerjanya, dan beberapa kawan lama mengalami masa-masa yang sulit. Bukan cara paling menyenangkan untuk mengawali tahun baru, tentunya. Belum lagi cuaca yang tidak menentu, pemadaman listrik yang rasanya kok makin sering saja di pulau kecil kami, dan kenyataan bahwa hujan tidak turun di salah satu hari favorit saya dalam setahun: tahun baru imlek.
Sangat mudah untuk pupus harapan bahkan sebelum bulan Februari dimulai. Namun, minggu lalu kami mengalami satu kejadian yang lucu-lucu menyebalkan. Sepatu anak laki-laki saya, si Racun Api, tertukar di sekolah. Sepatu ini sepatu biasa sebenarnya, namun sedang hits di kalangan anak seumurannya. Sekolah anak-anak saya, Mbak Rocker dan si Racun Api, memang mewajibkan anak-anak melepas alas kaki sebelum memasuki sekolah. Ini bukan pertama kalinya si Racun Api tertukar sepatunya. Seperti yang saya bilang tadi, sepatu itu sedang hits banget, jadi banyak anak yang mempunyai sepatu yang sama. Sebelumnya, pernah ketika pulang sekolah dia mengeluh kakinya sakit, dan ketika saya periksa, rupanya dia mengambil sepatu yang bukan miliknya. Sepatu itu sama warna dan modelnya, tapi ukurannya lebih kecil. Sorenya saya woro-woro di grup whatssap wali murid bahwa sepatu si Racun Api tertukar, dan besok siangnya ada ibu-ibu yang menukarkan sepatu yang seharusnya dipakai anak saya. Pernah lagi, si Racun Api yang memang dasarnya sender lewer alias suka sembarangan terhadap barang-barangnya itu membawa pulang sepatu yang sama model warna dan ukurannya, hanya saja..ehm...lebih lawas. Tentu saja sebagai emak irit yang tak mau rugi saya kembali woro-woro di grup dan besoknya sepatu anak saya kembali.
Namun kali ini, kejadian sepatu yang tertukar ini agak keterlaluan konyolnya, sebab ukuran kanan dan kirinya sepatu yang dibawa pulang anak saya kok berbeda. Semula saya tidak terlalu khawatir, ah toh nanti juga bisa ditukar lagi. Saya lupa woro-woro di grup dan kejadian sepatu itu terlupakan karena saya sedang sibuk di kantor. Minggu depannya saya baru memberitahukan kejadian sepatu beda size itu kepada wali kelas si Racun Api untuk diumumkan. Saya tinggalkan sepasang sepatu yang berlainan size itu di rak sepatu sekolah agar yang merasa sepatunya tertukar bisa langsung menukarkan.
Saya menunggu tanpa prasangka apa-apa. Sehari, dua hari. Seminggu, sepuluh hari. Tiap siang saat menjemput anak-anak saya selalu mengecek apakah sepatu itu sudah ditukar. Tak ada hasil. Saya mulai khawatir sepatu ini tidak akan kembali. Tapi ah, masa iya? Masa yang tertukar sepatunya nggak merasa sih? Masa iya dia oke-oke saja pakai sepatu yang kanan kirinya beda ukuran.
Dua minggu berlalu dan masih nggak ada hasil. Saya mulai kesal, sebab sepatu itu favorit si Racun Api dan paling bisa diandalkan untuk membujuk kalau dia sedang mogok sekolah. Sudah dua hari dia mulai rewel menanyakan di mana sepatu kesayangannya, dan saya mulai gemas mendengar rengekannya setiap pagi. Apalagi guru di sekolah memberitahu kalau tidak ada anak lain yang sepatunya sama yang merasa tertukar. Jadi, entah si anak pemilik sepatu sudah pindah sekolah atau sudah membuang sepatunya, namun yang jelas, harapan untuk si Racun Api mendapatkan sebelah sepatunya lagi sudah nihil. Ah.
Saya menyiapkan diri untuk mendapat amukan dari anak laki-laki saya ketika menyampaikan kabar buruk ini. Kalau saja kalian mengenal anak saya, ah, mungkin kalian akan memanggilnya Loki, Atau Dennis. Dennis the Menace, hahaha. Makanya, saya sudah siap seandainya Loki, eh Racun Api melancarkan aksi ngambeknya dengan mengacak-acak mainan atau mencoret-coret tembok. Tetapi, eh lhadalah, anak saya cuma terbengong sebentar lalu memeluk saya, "Ibu jangan malah ya adik hilangkan sepatu."
Eh ya ampun. Reaksinya bikin kaget (dan terharu). Saya mengusap mukanya yang menggemaskan (nakal namun lucu) dan bertanya, "Adik nggak sedih?" Si Racun Api menggeleng, "Nanti kita beli lagi ya Ibu kalau sudah ada uang."
Semudah itu. Se-sumarah itu anak saya yang saya kira bakal mengamuk. Yang selalu saya cap nakal. Ternyata begitu enteng dia menanggapi 'kehilangan' sesuatu yang penting. Bukannya marah dan menyalahkan orang lain, dia minta maaf (walaupun kejadian sepatu tertukar ini mungkin memang salahnya) dan berharap keadaan membaik dan dapat sepatu baru, siapa tahu.
Alangkah mudahnya kalau semua yang kehilangan sepatu sumarah seperti si Racun Api. Yang sudah, ya sudah. Yang berat, ya dijalani. Semua yang hilang akan kembali, atau berganti. Semua yang luka akan terobati. Yang sakit akan sembuh, listrik akan menyala kembali, jabatan yang hilang akan diganti dengan hal lain yang lebih berarti. Sumarah, sumarah...
Saya menunggu tanpa prasangka apa-apa. Sehari, dua hari. Seminggu, sepuluh hari. Tiap siang saat menjemput anak-anak saya selalu mengecek apakah sepatu itu sudah ditukar. Tak ada hasil. Saya mulai khawatir sepatu ini tidak akan kembali. Tapi ah, masa iya? Masa yang tertukar sepatunya nggak merasa sih? Masa iya dia oke-oke saja pakai sepatu yang kanan kirinya beda ukuran.
Dua minggu berlalu dan masih nggak ada hasil. Saya mulai kesal, sebab sepatu itu favorit si Racun Api dan paling bisa diandalkan untuk membujuk kalau dia sedang mogok sekolah. Sudah dua hari dia mulai rewel menanyakan di mana sepatu kesayangannya, dan saya mulai gemas mendengar rengekannya setiap pagi. Apalagi guru di sekolah memberitahu kalau tidak ada anak lain yang sepatunya sama yang merasa tertukar. Jadi, entah si anak pemilik sepatu sudah pindah sekolah atau sudah membuang sepatunya, namun yang jelas, harapan untuk si Racun Api mendapatkan sebelah sepatunya lagi sudah nihil. Ah.
Saya menyiapkan diri untuk mendapat amukan dari anak laki-laki saya ketika menyampaikan kabar buruk ini. Kalau saja kalian mengenal anak saya, ah, mungkin kalian akan memanggilnya Loki, Atau Dennis. Dennis the Menace, hahaha. Makanya, saya sudah siap seandainya Loki, eh Racun Api melancarkan aksi ngambeknya dengan mengacak-acak mainan atau mencoret-coret tembok. Tetapi, eh lhadalah, anak saya cuma terbengong sebentar lalu memeluk saya, "Ibu jangan malah ya adik hilangkan sepatu."
Eh ya ampun. Reaksinya bikin kaget (dan terharu). Saya mengusap mukanya yang menggemaskan (nakal namun lucu) dan bertanya, "Adik nggak sedih?" Si Racun Api menggeleng, "Nanti kita beli lagi ya Ibu kalau sudah ada uang."
Semudah itu. Se-sumarah itu anak saya yang saya kira bakal mengamuk. Yang selalu saya cap nakal. Ternyata begitu enteng dia menanggapi 'kehilangan' sesuatu yang penting. Bukannya marah dan menyalahkan orang lain, dia minta maaf (walaupun kejadian sepatu tertukar ini mungkin memang salahnya) dan berharap keadaan membaik dan dapat sepatu baru, siapa tahu.
Alangkah mudahnya kalau semua yang kehilangan sepatu sumarah seperti si Racun Api. Yang sudah, ya sudah. Yang berat, ya dijalani. Semua yang hilang akan kembali, atau berganti. Semua yang luka akan terobati. Yang sakit akan sembuh, listrik akan menyala kembali, jabatan yang hilang akan diganti dengan hal lain yang lebih berarti. Sumarah, sumarah...
Comments
Post a Comment