Skip to main content

Tentang Buku Elektronik


Sejak kecil, saya suka membaca dan punya koleksi buku bacaan yang lumayan. Sewaktu saya masih di bangku SD, setiap ada uang lebih, ayah saya mengajak saya ke Shoping (sekarang menjadi Taman Pintar) untuk berburu buku bacaan bekas dan kami akan pulang dengan satu tas penuh buku bacaan (bekas) baru. Setiap ada mobil perpustakaan keliling datang saya akan semangat sekali meminjam dua tiga buku. Begitu pun di sekolah, saya senang sekali membaca dan meminjam buku di perpustakaan. Hal ini berlanjut sampai saya dewasa. Perpustakaan dan toko buku, they are my happy places. 

Sewaktu saya akan berangkat ke Samarinda pertama kali untuk bekerja, saya meninggalkan sebagian besar koleksi bacaan saya di rumah salah seorang sahabat yang akhirnya rusak karena kebanjiran (duh!). Saya memulai lagi mengoleksi buku-buku dari nol ketika mulai bekerja. Jumlah koleksi buku saya juga bertambah dengan pesat karena saya sudah punya uang hasil jerih payah sendiri untuk membeli buku. Rak buku saya bertambah tinggi dan bertambah jumlahnya. Belum lagi ditambah dengan koleksi komik Mr Defender, kemudian juga buku-buku anak yang saya beli untuk Mbak Rocker dan si Racun Api.

Kemudian kami pindahan lagi, dan ketika pindah tempat tinggal melintas samudera itulah saya merasakan mahalnya mengirim banyak buku. Belum lagi kerepotan ketika mengepak dan membongkarnya untuk kemudian disusun lagi di rumah baru. Dan tidak semua buku yang saya kirimkan itu benar-benar saya suka. Banyak di antaranya hanya saya baca sekali saja setelah membelinya, bahkan ada juga yang saya tidak menyelesaikan membacanya.

Pada saat saya memulai beres-beres rumah untuk hidup yang lebih minimalis, saya menyumbangkan sebagian besar koleksi buku saya. Semua buku saya sumbangkan, kecuali yang benar-benar saya sukai dan saya baca berulang-ulang. Nah, masalahnya, saya tetap tergoda membeli buku-buku baru karena tentu saja hobi membaca saya tetap harus disalurkan, hahaha. Akhirnya saya beralih pada e-book. Kebetulan saya punya tablet yang jarang saya gunakan selain untuk mainan anak-anak, hahaha.

Ternyata setelah merasakan nikmatnya membaca di tablet saya jadi ketagihan dan membeli buku baru hampir dua kali sebulan. Membaca dengan tablet banyak enaknya, misalnya bisa baca di ruangan gelap saat anak-anak sudah tertidur. Jadi saya nggak perlu lagi menyalakan lampu baca atau pindah ruangan saat ingin membaca di malam hari. Harga buku elektronik juga lebih murah dibandingkan dengan buku fisiknya. Saya jadi bisa membeli buku-buku yang belum tersedia di toko buku di dekat saya, bahkan buku-buku yang tidak tersedia di Indonesia. Selain itu saya bisa membaca sampel bukunya dulu sebelum memutuskan membeli sehingga saya bisa menilai dulu apakah kira-kira saya akan menyukainya atau tidak. Membawa tablet di dalam tas juga lebih ringan dibandingkan membawa buku Harry Potter, misalnya. Dan yang paling penting, buku-buku elektronik ini nggak makan tempat.

Tentu saja kadang-kadang saya masih kangen membeli buku fisik. Ada yang tetap tak tergantikan dari aroma kertas dan mombolak-balik halaman buku. Karena itulah saya tetap membeli beberapa buku fisik, tapi biasanya saya membeli yang benar-benar saya suka, sudah saya baca e-booknya, atau buku-buku dari pengarang favorit saya. Dan tentunya buku anak-anak yang saat ini mendominasi isi rak buku di rumah kami. Karena buku anak-anak tetap lebih seru jika dibacakan langsung dari kertas buku warna-warni kan? Apalagi yang pop up, lift and flap, atau sound book. Saya senang sekali dengan isi rak buku kami sekarang, dan saya juga jadi membaca lebih banyak. Yay untuk e-book!

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,...

Sekolah Baru

Selamat tahun ajaran baru! Tahun ini Mbak Rocker masuk Sekolah Dasar di sekolah swasta yang sudah kami pertimbangkan bersama masak-masak selama beberapa waktu lamanya. Tambahan yang tak terduga, si Racun Api mendadak mogok sekolah di sekolah lamanya sehingga kami memutuskan untuk memindahkannya ke Taman Kanak-Kanak yang satu yayasan dengan sekolah kakaknya sekarang. Tentu saja walaupun mendadak dan tanpa rencana, proses pindah sekolah ini berlangsung dengan huru-hara dan drama singkat yang puji syukur bisa teratasi tanpa perlu ikut drama di media sosial. Yang penting, tahun ajaran baru datang dan anak-anak sudah bersekolah di sekolah baru. Amin! Allahu akbar! Bersekolah di sekolah baru ini, sungguh membuka mata saya tentang banyak hal. Terutama, tentang bagaimana rasanya menjadi minoritas. Saya lupa apakah sudah pernah bercerita, tetapi sekolah anak-anak yang sekarang menggunakan bahasa Inggris dan Mandarin sebagai pengantarnya. Tentu saja kami sudah tahu sebelumnya, dan bahkan ...

Cyin, Pertanyaan Lo Gengges Deh!

Kemarin, entah untuk ke berapa ratus kalinya saya mendapat pernyataan (sekali lagi pernyataan bukan pertanyaan) yang sama: "Kamu kok nggak nikah-nikah sih." Saya sih sudah kehilangan selera menjawab. Soalnya, apa pun jawaban saya pasti salah deh. Mereka yang ngajak ngomong itu emang nggak niat pengen diskusi, apalagi perhatian. Niat mereka cuma mencerca dan menyudutkan, itu saja. Jadi mau saya jawab apa pun, selalu di-counter lagi sama dia. Saya sampai hafal kalau saya jawab A, mereka bakal balas B. Misalnya saya jawab, pengen kuliah lagi, pasti mereka balas, apa sih artinya pendidikan tinggi kalau nggak punya keluarga, apa yang mau diharapkan nanti di masa tua, pasti hidupnya hampa. Lalu kalau saya jawab lagi, prioritas hidup orang kan beda-beda, siapa tahu bagi mereka yang karir dan pendidikan tinggi tapi nggak membangun keluarga itu emang nggak pengen berkeluarga, kan? Siapa tahu mereka bahagia hidup sendiri. Tapi kalau saya jawab begini, pasti jadi panjang, dan s...