Skip to main content

Jajan

Cus Demimoore (yang saya sebut demikian karena model rambutnya yang ala Demi di film Ghost), sering mengkritik saya tentang kebiasaan jajan Mbak Rocker dan si Racun Api. Banyak dan ada-ada saja lah protes Cus Demimoore ini soal jajannya anak-anak: yang kebanyakan lah, yang nggak sehat lah, yang nggak dimakan lah... Eman Bu, eman... kata Cus selalu yang cuma saya balas dengan tertawa.

Sebenarnya, bukan cuma Cus Demimoore yang hobi berkomentar tentang jajan ini. Kayaknya, banyak deh teman yang sering syok melihat si Racun Api makan oreo sambil minum es puter (terutama yang anaknya hanya ngemil granola bar dan salad zukini). Ada juga yang syok melihat Mbak Rocker sudah pintar memanggil tukang cilok, tukang bakso, tukang es, sementara dia baru berniat mengenalkan wacana jajan pada anaknya di usia SD. Belum lagi kebiasaan saya memberikan uang jajan kepada anak-anak sepulang sekolah setelah saya mengantar mereka pulang dan berpamitan kepada mereka untuk kembali ke kantor.

"Anak sekecil itu kok sudah dikasih uang jajan, sih."

"Lihat, anaknya Jeng Kriww jajan bakso abal-abal yang saosnya masuk Insert Investigasi."

"Kan boros ngasih anak jajan tiap hari. Anak itu jangan terlalu dimanjakan,"

"Kok anaknya nggak dibikinin cemilan sendiri sih."

"Wong jajannya nggak dimakan aja lho, Ibuuu.."

Dari semua komentar, cuma komentar Cus Demimoore yang terakhir itu yang saya dengarkan. Tapi toh biarpun anak-anak tidak menghabiskan jajanannya, akhirnya toh jajanan itu habis juga, entah oleh saya, Cus, atau Mr Defender. Jadi sebenarnya ya nggak eman juga toh, wong semuanya selalu termakan juga.


Tapi kenapa sih saya membebaskan anak-anak untuk jajan? Ya nggak apa-apa juga sih, nggak ada alasan spesifik apalagi ilmiah atas kebiasaan jajan ini kok. Lha wong jajan saja kok pakai alasan lho... jajan itu pakai duit, lah! Hehehe.

Kalau penjelasan logis dari Mr Defender, katanya dia nggak ingin menyesal karena tidak membelikan anak-anaknya jajan waktu masih kecil. Sebentar lagi anak-anak itu sudah tidak akan suka memanggil tukang es dan tukang cilok, menurutnya, dan dia ingin anak-anaknya punya kenangan masa kecil dengan tukang jualan sebagaimana dirinya waktu kecil dulu. Duh, sentimentil ya sebenarnya alasannya. Romantis bener.

Jajan di tukang keliling memang nostalgianya anak kampung banget ya, ditambah lagi memberdayakan ekonomi kerakyatan lho. Apalagi kalau sambil jajan itu kita membelikan anak-anak tetangga dan sambil ngobrol basa basi, nah itu bertambah lagi nilai plus jajanannya, bersilaturahmi. Hahaha, jadi panjang ya urusan jajan. Harus dong, kalau nggak panjang kan nggak menarik dan nggak akan jadi bahan tulisan.

Bakso baksoooo....

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,...

Sekolah Baru

Selamat tahun ajaran baru! Tahun ini Mbak Rocker masuk Sekolah Dasar di sekolah swasta yang sudah kami pertimbangkan bersama masak-masak selama beberapa waktu lamanya. Tambahan yang tak terduga, si Racun Api mendadak mogok sekolah di sekolah lamanya sehingga kami memutuskan untuk memindahkannya ke Taman Kanak-Kanak yang satu yayasan dengan sekolah kakaknya sekarang. Tentu saja walaupun mendadak dan tanpa rencana, proses pindah sekolah ini berlangsung dengan huru-hara dan drama singkat yang puji syukur bisa teratasi tanpa perlu ikut drama di media sosial. Yang penting, tahun ajaran baru datang dan anak-anak sudah bersekolah di sekolah baru. Amin! Allahu akbar! Bersekolah di sekolah baru ini, sungguh membuka mata saya tentang banyak hal. Terutama, tentang bagaimana rasanya menjadi minoritas. Saya lupa apakah sudah pernah bercerita, tetapi sekolah anak-anak yang sekarang menggunakan bahasa Inggris dan Mandarin sebagai pengantarnya. Tentu saja kami sudah tahu sebelumnya, dan bahkan ...

Cyin, Pertanyaan Lo Gengges Deh!

Kemarin, entah untuk ke berapa ratus kalinya saya mendapat pernyataan (sekali lagi pernyataan bukan pertanyaan) yang sama: "Kamu kok nggak nikah-nikah sih." Saya sih sudah kehilangan selera menjawab. Soalnya, apa pun jawaban saya pasti salah deh. Mereka yang ngajak ngomong itu emang nggak niat pengen diskusi, apalagi perhatian. Niat mereka cuma mencerca dan menyudutkan, itu saja. Jadi mau saya jawab apa pun, selalu di-counter lagi sama dia. Saya sampai hafal kalau saya jawab A, mereka bakal balas B. Misalnya saya jawab, pengen kuliah lagi, pasti mereka balas, apa sih artinya pendidikan tinggi kalau nggak punya keluarga, apa yang mau diharapkan nanti di masa tua, pasti hidupnya hampa. Lalu kalau saya jawab lagi, prioritas hidup orang kan beda-beda, siapa tahu bagi mereka yang karir dan pendidikan tinggi tapi nggak membangun keluarga itu emang nggak pengen berkeluarga, kan? Siapa tahu mereka bahagia hidup sendiri. Tapi kalau saya jawab begini, pasti jadi panjang, dan s...