Skip to main content

Everybody's Changing

Pernah nggak sih, ketemuan sama teman lama secara tak sengaja, lalu dapat komentar, "Kamu berubah, ya." Pernah? Saya sering.

Terus, pernah nggak setelah diklaim berubah oleh si teman lama itu, hubungan kalian berubah renggang? Saya juga pernah.

Apakah saya sebagai pihak yang diklaim berubah itu memang merasa berubah? Ya iyalah, bray, namanya juga hidup. Memangnya ada orang yang bertahun-tahun nggak berubah selain keluarga The Cullens dan Syahrul Gunawan? Sejujurnya, ada kali ya. Tapi kodrat manusia itu kan memang berubah ya, seiring perputaran bumi dan planet-planet. Ya nambah umur, nambah ijazah, nambah anak, rumah, mobil, pokoknya berubah lah.

Buat sebagian orang termasuk saya, perubahan yang dialami bukan cuma perubahan superficial yang tampak di luar, tapi mungkin isi jeroan saya banyak berubah, termasuk cara pandang saya terhadap hidup, yang mungkin membuat perubahan saya langsung terasa sehingga langsung menuai klaim: KAMU BERUBAH!

Tapi coba deh, ya, pikir lagi, apa salahnya dengan berubah? Well, mungkin ada yang salah kalau kamu berubah jadi perampok atau pedofilia sih, tapi selama tidak begitu, kenapa harus dihakimi?  Kita nggak tahu lho apa yang terjadi di dalam kehidupan kawan-kawan lama kita yang menyebabkan dia berubah dari dia yang dulu kita kenal. Bahkan perubahan yang menurut kita negatif sekali pun, pasti ada yang melatarbelakanginya.

so true!

Misalnya nih, teman SMA kita yang dulunya anak manis, rajin, alim, nggak neko-neko, sekarang ketika kita ketemu lagi dia berubah jadi party girl, putus kuliah, gonta ganti pasangan dan pergaulan bebas? Lalu kita dengan enaknya menghakimi dia, padahal dia putus kuliah karena ayahnya kena OTT KPK misalnya, lalu dia stres, terpaksa putus kuliah dan bekerja apa saja, dan karena hidupnya tiba-tiba berubah dia berubah jadi badass karena itu cara yang dia pilih untuk bangkit dari kepedihan? Mungkin buat kita teman-teman lamanya yang mengenal dia sebagai anak 'baik-baik', itu pilihan yang salah, tapi apa hak kita buat menghakimi dia? Apakah kita ada di sampingnya sewaktu kehidupannya sedang jungkir balik? Apa kita ada di sana untuk membantu dia melewati itu semua? Apakah kita bantu dia untuk nggak berhenti kuliah? Jika jawabannya tidak, then just shut up and mind your own business

Sebaliknya, kalau ada mantan kita yang womanizer banget, yang ganti pacar udah kayak ganti kolor, lalu sekarang berubah jadi family man dan kampanye ASI eksklusif, homeschooling, ceramah di media sosial tentang pendidikan agama sejak dini dan yadda yadda yadda, lalu apakah kita berhak nyinyir mengatai dia "kayak nggak inget masa muda aja lo!" ? Bukankah bagus ya kalau ada yang berubah ke arah yang (mungkin) lebih baik? Dan kalaupun kita nggak sepemikiran, ya sudahlah, menghindar saja. Kenapa harus bermusuhan?

Saya berubah banyak sekali, pasti, dan mungkin menurut teman-teman lama saya, tidak ke arah yang lebih baik. It's OK, saya juga tidak memaksakan diri kok untuk diterima. Yang saya yakini tidak bisa saya paksakan kepada orang lain dan begitu juga sebaliknya, karena memang kita melalui hal-hal yang berbeda-beda. Teman-teman yang kita lalui dalam masa berbeda, pasti akan mengenang diri saya sebagai Kriww yang mereka kenal pada saat itu. Teman-teman masa kecil saya akan mengingat saya sebagai anak nakal pembuat onar. Teman-teman SMA saya akan mengenal saya sebagai wallflower yang nggak suka bergaul dan nggak jelas pikirannya apa. Teman-teman kuliah saya, teman-teman kerja saya, mereka akan mengingat saya sebagai saya yang waktu itu mereka kenal. Mungkin ada yang mengingat saya sebagai outdoor junkie, atau si anak alim, atau party animal. Orang yang kenal saya sebagai seorang ibu akan mengingat saya sebagai seorang ibu (lalu mungkin berubah pikiran saat tahu saya dulu party animal). Orang yang mengenal saya sekarang mungkin nggak akan percaya kalau saya pernah jadi anak alim yang rajin ibadah (lalu mungkin akan bertanya-tanya apa yang telah saya lalui).

Intinya, semua orang berubah dan orang yang kita kenal selintasan saja, kita hanya tahu secuil bagian dari dirinya. Bagaimana dia akan berubah setahun, lima tahun ke depan, we have absolutely no idea. Kecuali untuk sebagian orang spesial dalam hidup kita yang kita ikuti seluruh perjalanannya, kita tidak tahu apa-apa. Apakah perubahan itu akan membuat orang itu tetap berada dalam hidup kita atau tidak, kita yang menentukan. Apakah perubahan itu membuat perbedaan menjadi sangat senjang dan tidak bisa dipertemukan, atau hanya menjadi sebuah dinamika yang tidak mengubah apa pun dalam hubungan, semua tergantung keluasan hati kita untuk menerima (dan sama sekali tidak ada yang salah jika kita memutuskan untuk tidak menerima). Everybody's changing, but some feelings remain the same. 

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku