Skip to main content

Tentang Menjadi Ibu yang Kuat


Sejak menjadi ibu, ada satu hal yang saya sadari: ibu harus menjadi sosok yang kuat. Kuat luar dalam. Secara emosi ataupun fisik. 

Ibu nggak boleh sakit. Karena kalau ibu sakit (ibu bukan manusia dengan kesehatan super yang anti kuman dan anti bakteri serta virus), siapa yang akan merawat anak-anak sementara ibu beristirahat? Walaupun sakit pun, seorang ibu harus tetap memastikan anak-anaknya tetap terpenuhi kebutuhannya, tetap makan bergizi, tidur sesuai jadwal, tetap pergi ke sekolah dan beraktivitas seperti biasanya. Dan yang paling penting, jangan sampai anak-anak ikut tumbang.

Ibu juga nggak boleh lelah, karena selelah apa pun ibu setelah bekerja (ibu bukan robot dengan stamina yang selalu prima), atau setelah mengerjakan pekerjaan rumah tangga, ada wajah-wajah mungil penuh harap yang ingin bercerita tentang kegiatannya hari itu, ingin diajak bermain, ingin dibacakan cerita sebelum tidur dan perlu dibantu mengerjakan tugas dari sekolah. 

Dan terakhir, ibu nggak boleh tampak sedih. Karena seperti apa pun suasana hati ibu, entah sedang penat dengan pekerjaan kantor, ada masalah pribadi (karena ibu juga manusia biasa yang punya perasaan), sedang bertengkar dengan suami atau keluarga, atau sesimpel bad mood karena PMS, ibu harus bisa menyembunyikan semuanya dari anak-anak, harus tetap ceria, jangan sampai anak-anak ikut bersedih atau bingung, atau apalagi kena imbas karena ibu marah dan uring-uringan. Jangan sampai anak bisa merasakan emosi negatif ibu, karena konon anak-anak bisa merasakan energi orang di sekitarnya, positif atau negatif.

Apa pun yang terjadi dalam kehidupan ibu, secara fisik, mental ataupun emosi, motherhood must go on. Karena menjadi ibu adalah pekerjaan tanpa hari libur ataupun cuti, 24 jam sehari sepanjang tahun. Dan tidak seperti kata Via Vallen, kuat dilakoni yen ra kuat ditinggal ngopi, tentu saja menjadi ibu harus terus dilakoni walau sambil ngopi :)

Salut untuk semua ibu di dunia ini. Yang senantiasa menjadi dinding yang kuat saat keluarganya rapuh dan menjadi sinar matahari yang menghadirkan senyum di wajah keluarganya.

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,...

Sekolah Baru

Selamat tahun ajaran baru! Tahun ini Mbak Rocker masuk Sekolah Dasar di sekolah swasta yang sudah kami pertimbangkan bersama masak-masak selama beberapa waktu lamanya. Tambahan yang tak terduga, si Racun Api mendadak mogok sekolah di sekolah lamanya sehingga kami memutuskan untuk memindahkannya ke Taman Kanak-Kanak yang satu yayasan dengan sekolah kakaknya sekarang. Tentu saja walaupun mendadak dan tanpa rencana, proses pindah sekolah ini berlangsung dengan huru-hara dan drama singkat yang puji syukur bisa teratasi tanpa perlu ikut drama di media sosial. Yang penting, tahun ajaran baru datang dan anak-anak sudah bersekolah di sekolah baru. Amin! Allahu akbar! Bersekolah di sekolah baru ini, sungguh membuka mata saya tentang banyak hal. Terutama, tentang bagaimana rasanya menjadi minoritas. Saya lupa apakah sudah pernah bercerita, tetapi sekolah anak-anak yang sekarang menggunakan bahasa Inggris dan Mandarin sebagai pengantarnya. Tentu saja kami sudah tahu sebelumnya, dan bahkan ...

Cyin, Pertanyaan Lo Gengges Deh!

Kemarin, entah untuk ke berapa ratus kalinya saya mendapat pernyataan (sekali lagi pernyataan bukan pertanyaan) yang sama: "Kamu kok nggak nikah-nikah sih." Saya sih sudah kehilangan selera menjawab. Soalnya, apa pun jawaban saya pasti salah deh. Mereka yang ngajak ngomong itu emang nggak niat pengen diskusi, apalagi perhatian. Niat mereka cuma mencerca dan menyudutkan, itu saja. Jadi mau saya jawab apa pun, selalu di-counter lagi sama dia. Saya sampai hafal kalau saya jawab A, mereka bakal balas B. Misalnya saya jawab, pengen kuliah lagi, pasti mereka balas, apa sih artinya pendidikan tinggi kalau nggak punya keluarga, apa yang mau diharapkan nanti di masa tua, pasti hidupnya hampa. Lalu kalau saya jawab lagi, prioritas hidup orang kan beda-beda, siapa tahu bagi mereka yang karir dan pendidikan tinggi tapi nggak membangun keluarga itu emang nggak pengen berkeluarga, kan? Siapa tahu mereka bahagia hidup sendiri. Tapi kalau saya jawab begini, pasti jadi panjang, dan s...