Skip to main content

Indah Pada Waktunya

Banyak kekhawatiran yang meliputi saya pada awal-awal kehamilan Dek Kwan Im: kemungkinan pindah penugasan, pekerjaan saya dan suami, dan berbagai kekhawatiran lain, salah satunya adalah: kami belum punya pembantu atau suster untuknya ketika lahir nanti. Mr Defender lebih sering bekerja di luar kota daripada di rumah. Bagaimana saya akan mengurus Dek Kwan Im nanti setelah saya kembali bekerja? Apakah Mbak Rocker dan Si Racun Api akan baik-baik saja? Dan sejuta pertanyaan dan kecemasan lainnya.

Menjelang bulan kelahiran Dek Kwan Im semakin banyak rintangan yang muncul, termasuk kemungkinan bahwa saya harus melahirkan tanpa didampingi Mr Defender. Perasaan saya kacau balau oleh hormon kehamilan, cuaca yang tidak menentu, listrik yang mati melulu, dan segala hal yang rasanya menghalangi saya untuk bisa tenang dan fokus menyambut persalinan.

Namun entah bagaimana sebulan sebelum tanggal estimasi kelahiran, saya mendadak mencapai juga fase tenang, pasrah, sumarah, legowo. Tenang menyambut apa yang mungkin terjadi. Pasrah seandainya apa yang akan terjadi mungkin bukanlah apa yang saya harapkan. Sumarah, bahwa saya memang tidak akan bisa mengontrol cara semesta bekerja. Dan legowo dengan apa pun keputusan yang semesta takdirkan untuk saya dan keluarga.

Semesta memang bekerja dengan cara yang misterius.

Kadang saya merasa dalam hidup saya yang tiga dekade ini, begitu banyak curve ball yang dilemparkan hidup kepada saya. Begitu banyaknya panen lemon, harusnya sih saya jual ya buat bikin honey lemon shot. Saya capek berekspektasi. Capek mengharap-harap lalu kecewa. Maka sebagaimana sering saya lakukan sebelumnya, saya berusaha berserah dalam menghadapi kelahiran Dek Kwan Im kemarin. Mencoba fokus pada hal yang pasti dan membahagiakan: anak kami yang ketiga. Biarlah hal-hal lain saya serahkan ke tangan semesta.

Semuanya akan indah pada waktunya.


Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku