Selamat Hari Guru Nasional yang diwarnai dengan demonya para Oemar Bakrie yang merasa gajinya kurang.
Saya suka sedih sih, kalau ada guru yang nggak sejahtera. Padahal tugasnya kan mendidik generasi penerus bangsa, atau kalau kata Iwan Fals, bikin otak orang seperti otak Habibie.
Kesejahteraan guru di Indonesia mungkin memang masih sangat kurang. Ayah saya juga lama jadi guru sebelum akhirnya jadi kepala sekolah dan dulu kami hidup sangat sederhana. Sampai sekarang setelah ada tunjangan sertifikasi pun, hidup kami jauh dari mewah.
Saya sering prihatin kalau dengar cerita bapak, banyak temannya yang nggak bisa bayar kuliah anaknya. Bayangkan, seorang guru yang mendidik tunas bangsa tidak mampu membiayai pendidikan anaknya! Hati saya rasanya teriris, dan saya jadi mengerti kenapa bapak dulu sangat ingin saya masuk sekolah kedinasan. Biaya uang pangkal kampus impian saya mungkin terlalu mahal untuk gaji bapak.
Tapi di lain pihak, saya merasa terganggu dengan demonya para guru, apalagi kalau isunya soal kesejahteraan. Bukan apa-apa, menurut saya kesejahteraan guru jaman sekarang sudah jauh lebih mending dibanding dulu. Kalau guru jaman dulu saja nggak demo, kenapa sekarang harus?
Untuk adilnya lagi, guru adalah teladan. Apa sih yang bisa diteladani dari menggugat soal perut, soal kesejahteraan, gaji, uang? Mungkin saya naif ya, tapi saya kecewa aja, guru sebagai panutan tapi perhitungan soal dunia. Jadi guru kan harusnya karena panggilan jiwa. Kalau mau kaya ya jangan jadi guru. Jadi saudagar aja kalau kata Umar Kayam.
Terus lagi, saya lihat guru-guru jaman sekarang, guru adik bungsu saya misalnya, dedikasinya kok jauh berkurangnya dibanding guru-guru saya dulu semasa sekolah SD dan SMP. Ya perhatiannya ke siswa, ya semangatnya untuk terus belajar mengembangkan ilmu, ya sabarnya, semuanya!
Ayah saya sendiri contoh yang nyata. Beliau memang mencintai sekali pekerjaannya dan tidak ada yang lebih membanggakan hatinya selain melihat murid-muridnya sukses. Seluruh hidup bapak didedikasikan untuk jadi guru yang baik. Di luar sekolah dia banyak baca buku, banyak belajar, terus mengembangkan diri. Jika ada salah satu muridnya yang bermasalah, bapak selalu melakukan pendekatan pribadi. Apa yang salah? Apa yang terjadi di rumah?
Bapak dulu guru SMP. Setiap tahun, dia akan mendata seluruh siswa kelas tiga, setelah lulus akan bersekolah di mana. Dia akan selalu membantu mencarikan sekolah. Jika ada yang bilang tidak akan meneruskan sekolah, bapak akan bertanya, kenapa? Apa masalahnya biaya? Apa karena ingin langsung kerja? Jika muridnya masih ingin sekolah tapi tak ada biaya, bapak akan mendatangi orangtua si murid, minta izin menjadi orang tua asuh yang membiayai sekolahnya. Padahal kami bukan orang kaya! Seringkali bapak menampung anak-anak orang lain untuk tinggal di rumah, membiayai sekolah dan biaya hidupnya sehari-hari. Salah satu anak asuhnya yang sukses adalah kakak angkat saya yang ikut dengan keluarga kami sampai menikah. Sebagian besar pergi dari rumah begitu menamatkan SMA atau SMK.
Sewaktu diangkat jadi kepala sekolah di sebuah desa kecil di kaki gunung, dedikasi bapak lebih luar biasa lagi. Dia menggunakan dana sekolah yang biasanya cuma untuk konsumsi rapat guru menjadi sarapan siswa setiap hari di minggu ujian. Siapa tahu mereka belum makan, nanti tidak konsentrasi ujiannya, kata bapak selalu. Tidak jarang dia membelikan makanan itu dengan uang pribadi. Jika ada muridnya yang mau putus sekolah karena orangtuanya ingin dia membantu di sawah saja, bapak dengan rajin mendatangi si orangtua dan berusaha memberikan pengertian. Saat ada beberapa anak yang mengaku tak sanggup terus sekolah karena rumahnya sangat jauh dan ongkos naik kendaraan umum tak terjangkau olehnya, bapak meminta ke dinas untuk diadakan unit bis sekolah bagi mereka.
Bapak saya berhati sangat mulia. Menulis ini saja bikin saya hampir menangis. Saya sangat bangga padanya. Murid-muridnya, walaupun takut karena beliau sangat galak kalau mengajar, juga mencintainya. Setiap hari raya rumah kami dibanjiri murid dan bekas muridnya dari tahun ke tahun. Bapak akan sangat senang menerima mereka. Tidak pernah sekali pun bapak mengeluhkan gaji yang terlalu kecil apalagi menggugat negara.
Mungkin terlalu berlebihan kalau saya ingin semua guru seperti bapak saya. Sosok seperti bapak mungkin sangat langka. Tapi saya rindu sosok pendidik yang tulus, yang mengajar karena panggilan hati, yang berusaha memberikan teladan terbaik, karena guru itu sepantasnya digugu dan ditiru.
Comments
Post a Comment