Skip to main content

muhasabah diri, cailah

Saya sering banget mendengar komentar "lo sih enak blablabla..." atau "jangan bandingin sama hidup lo yang blablabla..." atau "lo sih ga tau betapa menderitanya gue, karena lo blablabla...."

Di-iri-in orang adalah hal yang benar-benar membuat saya melongo se-melongo-melongo-nya. 

Serius deh, apa sih yang bisa bikin kalian iri sama saya?
I'm not pretty, I mean I'm not even a nine or eight, there's a lot of hard ten girls out there to be envy. Jadi nggak mungkin lo iri sama gue karena gue cantik (yaiyalah, ngarep lo, hahahahaha). Gue juga nggak pinter-pinter amat, masih banyak teman seangkatan gue yang sekarang ini udah lulus S2, yang IP-nya sangat-sangat wow sementara gue ini mediocre, pas-pasan, kaum marjinal. Jadi nggak mungkin juga kan lo iri karena prestasi akademik gue.

Kerjaan? Saya sangat bersyukur dengan pekerjaan yang meskipun gajinya sedang-sedang aja tapi gue nggak pernah merasa underpaid, masih banyak orang di luar sana yang susah cari kerja. Tapi pekerjaan saya bukan pekerjaan yang bisa disombongin ke orang-orang, baik soal gajinya maupun tingkat ke-keren-an pekerjaannya. Saya cuma seorang staf semacam sekretaris yang kerjanya cuma nyatet dan mendistribusikan surat-surat, booking tiket dan hotel untuk perjalanan bos gue, bahkan sampai bikin minum dan beli snack macam OB. Saya juga jarang dapat perjalanan dinas atau pelatihan buat mengembangkan karir. Sementara teman-teman dengan pendidikan yang sama persis seperti saya mungkin punya pekerjaan yang lebih keren: auditor, akuntan, account representative pajak dan punya penghasilan tahunan dua tiga kali lipat dari saya (dan saya juga nggak iri kok, saya yakin mereka yang penghasilannya lebih banyak pasti bekerja lebih keras dari saya).

Hidup? Biasa aja. Standar gaya hidup saya jauh lebih sederhana kalau dibanding teman-teman yang lain. Saya memang punya calon suami luar biasa baik, tapi mohon diingat juga saya wajib merawat ibunya yang bipolar disorder, so it's not easy after all. Keluarga saya sendiri bukannya nggak banyak masalah, tapi nggak bakalan juga ditulis di sini. Bukan keluarga yang bisa lo iriin kan?

Jadi kenapa? Kenapa lo mesti iri sama hidup gue yang kalau diukur mungkin submarjinal ini? Mungkin lo iri karena lo melihat apa yang tampak dari luar aja, dan mungkin tampak luar gue emang super buat lo, alhamdulillah. Masa iya gue harus menampakkan semua hal yang nggak enak di hidup gue sama lo dan pasang muka suram? Gue bukan acting happy sih, gue trying to be (and look) happy. Kenapa lo enggak? Dan mencoba untuk nggak iri sama gue (dan entah siapa lagi) yang belum tentu hidupnya lebih beruntung dari lo. Percaya deh, iri sama orangatau terus-terusan mengasihani diri cuma bikin hidup lo tampak makin menyedihkan.

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku