Skip to main content

yang diajarkan hidup, hari ini

Hari ini, pagi-pagi mengecek ponsel dan membaca sms dari adik saya di Jogja. Ada keluarga ibu saya di Jakarta yang meninggal. Saya langsung syok, sebab di hari pernikahan saya kami bertemu dan beliau sehat-sehat saja. Kata adik saya, bude saya itu terpeleset di kamar mandi dan langsung meninggal. Saya merasa sedikit kacau, sedih karena kehilangan dan sedih membayangkan ibu saya yang berangkat naik bis ke Jakarta sendirian (ibu saya tidak pernah bepergian keluar kota sendiri, apalagi dengan angkutan umum) karena ayah saya sedang berdinas. Sedih, namun tidak sanggup menangis, sampai sakit dan sesak dada ini rasanya.

Jam 10 pagi, setelah gagal memperbaiki suasana hati akhirnya saya meminta Mr Defender menjemput, lalu kami pergi makan siang lebih awal dan mampir ke toko bayi, membeli hadiah untuk bayi teman kami. Bayi teman kami ini, setelah lahir langsung masuk NICU (ICU untuk bayi) karena ada cairan di paru-parunya. Kami sudah sempat menengoknya, namun waktu itu tidak membawa hadiah kelahiran. Hari ini saya mengunjunginya lagi di rumah sakit, kali ini menengok adik bayi, bukan menengok orang sakit, begitu rencana saya.

Lalu, kami bertemu teman kami, masih menunggui bayinya di emperan depan ruangan NICU, kondisinya kurang sehat karena kelelahan dan berhari-hari tidur di lantai dingin ruangan terbuka. Ada sedikit nyeri terasa di hati saya melihat keadaannya. Lalu ia bercerita bahwa sudah beberapa bayi di ruangan NICU yang meninggal sejak ketika saya menengok anaknya seminggu yang lalu. 
Ada bayi yang baru saja meninggal tadi malam, bayi yang dirujuk jauh-jauh dari Kutai Barat, sebuah kota kecil berjarak delapan jam perjalanan darat dari Samarinda, dengan medan berat pula. Ada bayi yang terpaksa dibawa pulang paksa karena sudah dirawat 30 hari, dan Jamkesda sudah tidak memberikan gratisan lagi untuk perawatan selanjutnya. Maka si orangtua bayi, yang berasal dari pedalaman Kutai Timur, yang untuk membawa bayinya ke rumah sakit ini saja sudah menghabiskan tabungan untuk transport, yang sehari-harinya di rumah sakit untuk makan pun dibantu oleh keluarga pasien lain yang bersimpati, memutuskan membawa bayinya pulang. Keluarga-keluarga pasien NICU lainnya menyumbang semampunya untuk biaya kepulangan mereka. Seorang bapak mengantar mereka hingga ke terminal antar kota, dan sebelum angkutan berangkat, tubuh si bayi sudah membiru di gendongan ibunya. Bayi itu bahkan tidak sempat selamat sampai di rumahnya.

Teman saya terus bercerita, bahwa kondisi anaknya belum membaik, segala upaya terus dilakukan dan mereka terus berharap walaupun dokter meminta mereka untuk realistis. Saya membuang muka, tidak sanggup menatap wajahnya saat ia bicara. Saya harus pamit ke toilet agar ia tidak melihat saya menangis. Tidak. Saya datang untuk membesarkan hatinya bukan?

Namun, akhirnya saya tidak sanggup mengatakan apa-apa, sebab apa pun yang saya katakan akan terdengar sangat klise. Mungkin ia sudah muak mendengarnya dari orang lain. Sabar ya. Terus berharap ya. Pasti sembuh kok. Pasti semua akan baik-baik saja. Tidak, saya tidak berani mengucapkan itu kepada ayah dan ibu yang sudah berminggu-minggu menunggu bayinya di NICU, melihat bayi-bayi lain meninggal setiap hari.

"Jaga kesehatan. Jangan sampai ikut sakit." Akhirnya cuma itu yang bisa saya katakan. Rumah kami dekat. Kalau kalian perlu apa pun, walaupun itu hal sesepele setermos air panas atau numpang mandi karena di sini antri, jangan sungkan. Izinkan kami membantu. Sebab saya tidak tahu cara lain untuk meringankan kesedihan kalian. Sebab saya tidak berdaya untuk membuat kalian merasa lebih baik.

Semoga Tuhan memberikan ketabahan dan kekuatan, untuk keluarga saya yang berduka, untuk keluarga teman saya yang terus berusaha. Terima kasih Tuhan untuk meringankan kesedihanku hari ini dengan memaksaku merasakan kesedihan orang lain.

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku