Dari sekian banyak tulisan di blog ini, mungkin tulisan satu ini akan jadi yang paling dalam dan paling pribadi (setidaknya dari yang lalu-lalu yang pernah saya tulis). Sebenarnya saya ingin menulis ini dua tiga tahun yang lalu, tetapi saya memutuskan untuk menuliskannya sekarang, teristimewa untuk seorang nona sahabat saya. Sebenarnya lagi, saya ingin menyampaikan ini kepadanya dua tiga tahun yang lalu, namun mungkin sudah digariskan bahwa saya harus menulisnya sekarang ini, dalam kondisi saya dan dia yang sekarang, dan sekaligus juga, tulisan ini untuk mereka yang kepadanya saya berhutang penjelasan (juga yang merasa bahwa saya berhutang penjelasan).
Jadi, saya memeluk agama lain sejak beberapa waktu lalu. Dan saya tidak akan menjelaskan bagaimana saya mengalami proses peralihan itu (saya tidak akan menyebutnya pencerahan sebab kata itu akan memicu perdebatan yang tanpa akhir) atau apa kenapa saya memilih meninggalkan agama saya yang lama dan memilih yang satu ini. Itu pengalaman spiritual yang harus dialami sendiri dan tidak bisa diceritakan dengan tepat sama seperti yang saya rasakan. Saya juga tidak ingin membahas benar salah sebab tidak akan ada ujungnya, dan hal tersebut akan menyakiti banyak pihak.
Tetapi, keputusan itu sudah saya pilih. Mungkin itu keputusan terbesar dan terberat yang saya ambil, setelah sepuluh tahun bergulat dengan berbagai pertanyaan dan keraguan, akhirnya, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, saya merasakan sepotong damai. Namun damai itu segera disusul oleh konsekuensi lain, yaitu saya harus menjelaskan keputusan saya kepada orang-orang yang saya cintai.
Menjelaskan, itu mungkin tantangan terbesar yang saya temui setelah peralihan itu. Sebab di Indonesia semua orang normalnya berlangganan agama yang sama dengan orang tua dan keluarganya, dengan suami dan anak-anaknya. Agama tak ubahnya ras dan suku bangsa yang sudah diteken begitu kita dilahirkan (coba saja lihat di kartu keluarga, bahkan bayi pun sudah dipilihkan agama). Dan perkawinan multiagama bukan praktek yang berterima umum.
Orang bertanya, kenapa kamu pindah agama? Apa yang salah dengan agamamu? Tidak ada, atau lebih tepatnya tidak tahu, saya menjawab. Saya hanya tahu bahwa dalam perjalanan saya menemukan diri saya yang sejati, saya telah menembus sebuah gerbang mengerikan: mempertanyakan kembali apa yang selama ini saya tahu dan yakini sebagai satu-satunya kebenaran. Lalu saya tiba di sini. Mungkin seperti bertanya kepada Brad Pitt, kenapa bercerai dengan Jennifer Aniston dan memilih Angelina Jolie? Apa yang salah dengan Jen? Apa lebihnya Jolie? Brad Pitt bisa menjawab Jen begini dan begitu, Jolie lebih ini dan anu, tapi tentu itu bukan jawaban yang pas bukan? Sesederhana itu.
Mengapa memilih agama ini? Tidak mengapa, hanya karena inilah yang berjodoh dengan saya saat ini. Dan pengalaman spiritual saya dengan semua orang tentu berbeda. Semua orang butuh mengalami momen ketuhanan itu sendiri, dan saya percaya bahwa tuhan tidak harus menemui semua orang dengan wujud yang sama, semua orang tidak harus mengalami momen spiritualnya dengan cara yang sama, dan mungkin karena itu pemahaman orang terhadap tuhan boleh berbeda. Dan saya juga tidak ingin berdebat tentang ini, terima kasih.
(Ah, ternyata saya tetap tidak bisa menjadikan tulisan ini dalam, pribadi dan bermakna seperti yang saya mau.)
Kamu meninggalkan jalan yang benar dan kamu akan masuk neraka, kata sebagian orang. Apa kata saya waktu itu? Biarlah, setidaknya saya masuk neraka dengan sadar dan atas keinginan sendiri. Jalan ini adalah jalan yang saya pilih dan terasa benar, maka biarlah saya berada di sini, dan kalaupun nanti saya terbakar di neraka, setidaknya di dunia ini saya merasakan sekecap kedamaian dalam hati. Mungkin itu lebih baik daripada seumur hidup bertanya-tanya, lalu akhirnya toh saya masuk neraka juga karena meragu. Atau nanti akhirnya surga dan neraka tak sungguh ada, lalu saya menyesal karena tidak pernah mengambil langkah. Maka biarlah, saya akan menjalaninya tanpa penyesalan, apa pun konsekuensinya nanti.
Apa kamu yakin pilihanmu benar? Yakin, tentu saja iya. Tahu pasti? Tidak. Memangnya siapa yang iya?
Apa kekuatiran terbesar saat saya mengambil keputusan ini? Ternyata, bukan hanya kuatir telah mengambil langkah yang salah, tapi kuatir keputusan ini akan melukai orang-orang terdekat dan orang-orang yang saya cintai. Namun, nyatanya tidak. Orang tua dan keluarga saya menerima dengan baik (sebenarnya, saya rasa keluarga saya masih dalam tahap penyangkalan, orang tua saya menganggap ini hanya 'fase' dan nanti segalanya akan kembali seperti biasa. tapi saya rasa, mungkin ini memang 'hanya' fase, dan sikap mereka tidak salah sedikit pun). Suami saya adalah teman diskusi dan kritikus terhebat selama proses saya mengambil keputusan ini, dan tidak ada yang berubah dalam hubungan kami sebelum dan sesudah keputusan ini. Sahabat-sahabat terdekat saya, semuanya sangat suportif, bahkan walaupun mereka tidak setuju atau tidak bisa memahami. Tentang dukungan luar biasa ini, mungkin akan saya ceritakan lebih lanjut nanti.
Reaksi yang terberat justru dari orang-orang yang tidak terlalu mengenal saya. Mereka yang kenal selewatan karena kebetulan satu kantor, satu sekolah, satu kampus, satu angkot dan sebagainya. Mereka yang sebelum ada peristiwa ini negur aja nggak, tapi tiba-tiba serasa jadi orang yang kenal dekat dan merasa berhak menasihati dan mengarahkan hidup saya.
Saya sudah berusaha menganggap semua komentar itu sebagai bentuk perhatian dan kepedulian, namun saya tidak bisa. Atau belum. Saat itu saya merasa sangat kesepian, terasing; saya merasa ditolak. Saya menghabiskan banyak waktu untuk menyendiri dan menangis sebab pandangan dan komentar orang sangat menyakitkan, dan saya ternyata bukan orang yang sekuat yang saya kira.
Saya terluka dengan perkataan bahwa saya hanya memilih apa yang nyaman untuk saya. Sungguhkah? Apanya yang nyaman dengan berpindah agama dari yang dipeluk sedari belum lahir? Di mana nyamannya merasa bimbang apakah saya harus diam atau mengumumkan (ataukah justru berpura-pura? Apa yang nyaman dari perasaan galau apakah harus mengganti kolom agama di KTP, atau ketakutan memikirkan bagaimana jika besok rumah saya didatangi sekelompok laskar yang harus membunuh mereka yang keluar dari agamanya.
Tetapi waktu berlalu dan perlahan-lahan menyembuhkan segala bentuk luka serta menyamarkan bekasnya. Kini saya baik-baik saja, dan ketika memandang ke masa itu, saya merasa ingin memeluk diri sendiri untuk segala perjuangan dan keberanian yang saya curahkan.
Apakah saya telah sampai di garis akhir? Saya tidak tahu. Saya tidak berani menjamin bahwa dua tiga bulan atau empat tahun lagi saya tidak akan berubah pikiran atau menemukan jalan yang baru. Dan saya menyiapkan kekuatan sejak sekarang jikalau nanti saya akan dicerca dengan (pastinya) lebih hebat (oh, saya bisa membayangkan seperti apa reaksi orang). Saya tidak pernah berhenti mencari, tidak pernah berhenti menuju Dia dengan segala cara yang saya bisa.
Dan saya sungguh, sungguh meminta maaf untuk mereka yang mungkin merasa terluka atas keputusan saya.
Apa kamu yakin pilihanmu benar? Yakin, tentu saja iya. Tahu pasti? Tidak. Memangnya siapa yang iya?
Apa kekuatiran terbesar saat saya mengambil keputusan ini? Ternyata, bukan hanya kuatir telah mengambil langkah yang salah, tapi kuatir keputusan ini akan melukai orang-orang terdekat dan orang-orang yang saya cintai. Namun, nyatanya tidak. Orang tua dan keluarga saya menerima dengan baik (sebenarnya, saya rasa keluarga saya masih dalam tahap penyangkalan, orang tua saya menganggap ini hanya 'fase' dan nanti segalanya akan kembali seperti biasa. tapi saya rasa, mungkin ini memang 'hanya' fase, dan sikap mereka tidak salah sedikit pun). Suami saya adalah teman diskusi dan kritikus terhebat selama proses saya mengambil keputusan ini, dan tidak ada yang berubah dalam hubungan kami sebelum dan sesudah keputusan ini. Sahabat-sahabat terdekat saya, semuanya sangat suportif, bahkan walaupun mereka tidak setuju atau tidak bisa memahami. Tentang dukungan luar biasa ini, mungkin akan saya ceritakan lebih lanjut nanti.
Reaksi yang terberat justru dari orang-orang yang tidak terlalu mengenal saya. Mereka yang kenal selewatan karena kebetulan satu kantor, satu sekolah, satu kampus, satu angkot dan sebagainya. Mereka yang sebelum ada peristiwa ini negur aja nggak, tapi tiba-tiba serasa jadi orang yang kenal dekat dan merasa berhak menasihati dan mengarahkan hidup saya.
Saya sudah berusaha menganggap semua komentar itu sebagai bentuk perhatian dan kepedulian, namun saya tidak bisa. Atau belum. Saat itu saya merasa sangat kesepian, terasing; saya merasa ditolak. Saya menghabiskan banyak waktu untuk menyendiri dan menangis sebab pandangan dan komentar orang sangat menyakitkan, dan saya ternyata bukan orang yang sekuat yang saya kira.
Saya terluka dengan perkataan bahwa saya hanya memilih apa yang nyaman untuk saya. Sungguhkah? Apanya yang nyaman dengan berpindah agama dari yang dipeluk sedari belum lahir? Di mana nyamannya merasa bimbang apakah saya harus diam atau mengumumkan (ataukah justru berpura-pura? Apa yang nyaman dari perasaan galau apakah harus mengganti kolom agama di KTP, atau ketakutan memikirkan bagaimana jika besok rumah saya didatangi sekelompok laskar yang harus membunuh mereka yang keluar dari agamanya.
Tetapi waktu berlalu dan perlahan-lahan menyembuhkan segala bentuk luka serta menyamarkan bekasnya. Kini saya baik-baik saja, dan ketika memandang ke masa itu, saya merasa ingin memeluk diri sendiri untuk segala perjuangan dan keberanian yang saya curahkan.
Apakah saya telah sampai di garis akhir? Saya tidak tahu. Saya tidak berani menjamin bahwa dua tiga bulan atau empat tahun lagi saya tidak akan berubah pikiran atau menemukan jalan yang baru. Dan saya menyiapkan kekuatan sejak sekarang jikalau nanti saya akan dicerca dengan (pastinya) lebih hebat (oh, saya bisa membayangkan seperti apa reaksi orang). Saya tidak pernah berhenti mencari, tidak pernah berhenti menuju Dia dengan segala cara yang saya bisa.
Dan saya sungguh, sungguh meminta maaf untuk mereka yang mungkin merasa terluka atas keputusan saya.
Comments
Post a Comment