Dulu, sebelum saya dan Mr Defender menikah, banyak sekali orang, baik itu saudara, kerabat, teman, yang dekat maupun yang kenal-kenal gitu doang, yang sering menasihati bahwa nantinya setelah menikah, cinta itu jadi sesuatu yang nggak relevan. Marriage is all about commitment. Trus ada juga yang bilang, daya tarik fisik dan seks itu akan jadi hal yang nggak penting setelah menikah nanti. Yang penting ya itu tadi. Komitmen, komitmen, komitmen. Komitmen untuk terus bersama walaupun badai menerpa bahtera perkawinan (halah). Komitmen untuk menerima pasangan kita apa adanya, berkompromi dengan segala kekurangan pasangan, komitmen untuk bertahan walaupun kondisi yang berjalan tidak sesuai harapan, dan sebagainya-dan sebagainya.
Waktu itu, karena memang belum menikah, dan belum tahu bagaimana rasanya mengarungi bahtera rumah tangga (apa sih) saya setuju-setuju saja sebab semuanya memang terdengar masuk akal. Cinta yang membuat orang menikah, tapi pada akhirnya komitmenlah yang membuat pernikahan bertahan. Kira-kira begitulah.
Tapi, setelah menikah, saya menemukan bahwa ternyata saya dan Mr Defender adalah jenis manusia yang berbeda dari orang-orang tadi, sebab kami berdua sama-sama menganggap komitmen itu taik kucing. Bahkan kami berdua sebenarnya sama-sama benci terikat pada sesuatu (dan seandainya hidup dalam norma yang berbeda mungkin kami bakalan tinggal bersama tanpa menikah, saling mencintai selamanya tanpa ikatan apa-apa). Ini mungkin memang pandangan hidup yang ekstrim, tidak ideal, dan saya juga nggak bilang bisa diterapkan kepada semua pasangan. Intinya sih, mempertahankan pernikahan dengan berpegang teguh pada komitmen semula itu tidak bisa berlaku untuk kami berdua. Kenapa? Sebab kami sama-sama meyakini bahwa, kami hidup bersama karena cinta. Jika cinta sudah tidak ada, alasan mempertahankan pernikahan karena "sudah berkomitmen" itu akan terdengar menyedihkan bagi kami. Apanya yang membahagiakan dari kehidupan pernikahan di mana cinta sudah hilang?
Mr Defender pernah bilang, bahwa dia berharap nantinya selamanya bersama saya karena memang ingin, karena suka, karena cinta, bukan karena harus, bukan karena sebaiknya memang begitu. Dan kalaupun sudah menikah berpuluh tahun dan punya keturunan, alasan kami tetap tinggal serumah nanti tetap karena saling menginginkan, bukan karena apa kata orang kalau kita bercerai, bukan demi anak-anak yang butuh orang tua lengkap, bukan demi orang tua kita tidak menanggung malu karena kegagalan pernikahan kita.
Saya pernah bertanya, "Jadi nanti kalau suatu hari kamu nggak cinta lagi sama aku, kamu bakalan pisah sama aku?"
Dan dia menjawab, "Kalau nanti itu terjadi, memangnya kamu sendiri masih mau hidup sama orang yang nggak cinta lagi sama kamu?"
Jawaban yang sangat cetar bukan? Hehehe. Intinya ya kami berdua memang memandang cinta dan pernikahan seperti itu. Nggak perlu banyak komitmen dan janji, karena tidak ada yang menjamin bagaimana perasaan kita esok hari. Dan dengan tidak membebani diri kami dengan komitmen-komitmen itu, kami memberi lebih banyak ruang bagi cinta untuk bertumbuh.
Apakah kami tidak pernah bertengkar? Sering, tentang hal kecil maupun besar. Mulai dari handuk yang belum dijemur sampai soal agama dan Tuhan. Tapi kami berdua sepakat untuk tidak saling berusaha mengubah satu sama lain, sebab kalau segitunya kita pengen mengubah seseorang, apa dong yang sebenarnya kamu sukai dari orang itu? Tapi pada akhirnya kami berdua baik-baik saja, bahkan kami sama-sama tidak melihat hal-hal yang tidak kami sukai dari diri masing-masing sebagai kekurangan. Itu cuma perbedaan, dan perbedaan tidak akan menjadi jurang pemisah selama kami masih saling mencintai.
Ya, lagi-lagi cuma cinta yang bisa membuat kami bertahan. Bukan kompromi, bukan komitmen, bukan pernikahan itu sendiri.
(Ini cuma cerita kami loh, bukan untuk mendebat atau mengecilkan arti pernikahan dan komitmen bagi mereka yang memang menghormatinya)
Comments
Post a Comment