Skip to main content

Bukan Teman Bermain yang Menyenangkan

Guru favorit saya, Ajahn Brahm, pernah bilang, jangan biarkan siapa pun merenggut kebahagiaanmu. Orang lain boleh memakimu, merendahkanmu, berbuat jahat padamu, namun jangan biarkan perbuatan mereka itu mempengaruhi diri dan kebahagiaanmu. Jangan biarkan diri dan pikiranmu terpengaruh oleh kejahatan yang dilakukan orang lain padamu.

Hal sederhana ini adalah misi terbesar saya saat ini. Saya sangat ingin bisa begitu. Tetap tenang dan bahagia apa pun sikap dan pikiran orang pada saya, bagaimana pun buruk perlakuan orang pada saya. Saya ingin bisa, walaupun sulit: biarkan saja, jangan lekati, lepaskan, dan lanjutkan hidup. Alangkah bahagianya jika bisa.

Saya sepenuhnya sadar bahwa dalam menjalani hidup saya selama dua puluh lima tahun ini, saya telah membuat banyak keputusan yang tidak populer dan mungkin sulit dimengerti oleh orang lain, bahkan oleh mereka yang saya sayangi dan menyayangi saya. Keputusan-keputusan yang disayangkan (bahkan mungkin disesalkan) oleh banyak orang. Keputusan-keputusan yang bagi banyak mata tampaknya salah, egois, atau mengecewakan.

Dan sebagai konsekuensi atas keputusan-keputusan tidak populer yang saya ambil, saya harus siap dengan berbagai reaksi. Kekecewaan orang-orang yang saya cintai. Wajah bertanya-tanya orang-orang yang tidak mengerti bagaimana saya bisa mengambil keputusan-keputusan yang mereka anggap gila. Juga penghakiman, cercaan, sikap bermusuhan dan segala bentuk rasa tidak suka.

Beberapa waktu yang lalu saya menghadapi semua itu dengan sangat defensif. Saya membela diri, stand up for what I believe, saya akan berpanjang lebar menjelaskan alasan saya, dan ketika mereka menyatakan ketidaksetujuannya (seringnya bukan dengan cara yang baik) saya akan mendebat untuk mempertahankan. Lalu mereka mulai mencerca dan berkata kasar, dan akhirnya saya akan terpancing untuk membalasnya, demi kepuasan sesaat dalam hati karena merasa mampu membela diri sendiri.

Namun, semakin ke sini, semakin saya sadar bahwa setiap kali saya membela diri, saya hanya akan menyakiti diri saya lebih jauh lagi. Dengan berbantahan, saya membuka diri saya untuk disakiti oleh mereka, saya membiarkan mereka menyakiti saya sekali lagi dan sekali lagi.

Butuh waktu yang lama bagi saya untuk sampai pada penyadaran sederhana itu. Sekarang, setelah perlahan-lahan saya memahaminya, saya memutuskan untuk membiarkan saja orang berusaha menyakiti saya (dengan kata-kata dan sikap) namun hal itu tidak akan saya biarkan menyakiti saya. Seandainya seseorang marah, atau mencerca, jauh lebih mudah untuk diam, membiarkan dia mengatakan apa pun yang dia inginkan, lalu berlalu. Tidak perlu memikirkan apa yang mereka katakan, apalagi menanggapinya. Tidak perlu menjadikannya status di twitter, bahkan tidak perlu membicarakannya dengan pasangan saya. Karena hal itu sesungguhnya tidak penting, dan tidak akan saya biarkan menyakiti hati saya. Jika saya menceritakan kejadian yang tidak menyenangkan itu kepada pasangan atau sahabat, sesungguhnya saya malah membiarkan orang itu menyakiti saya lagi. Saat saya mengingat perbuatan buruk orang, maka sebenarnya saya cuma membiarkan perbuatan itu menyakiti pikiran saya lagi. Saya cuma akan merugi. Untuk apa coba?

Nah, ternyata, hal yang saya temukan adalah, ketika saya berhenti menanggapi, orang-orang secara ajaib berhenti mengganggu saya. Mungkin bagi mereka nggak asyik juga kali ya, mencela sampai berbusa-busa tapi yang dicela cuma diam. Paling pol cuma berkata "Sudah?" lalu berlalu. Mungkin saat mulai mencerca, orang memang mengharapkan untuk balik dicerca, sehingga ketika saya diam saja, mereka tidak menemukan kesenangan, dan akhirnya berhenti mengajak saya "main" karena saya bukan teman bermain yang menyenangkan lagi bagi mereka.


Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,...

Sekolah Baru

Selamat tahun ajaran baru! Tahun ini Mbak Rocker masuk Sekolah Dasar di sekolah swasta yang sudah kami pertimbangkan bersama masak-masak selama beberapa waktu lamanya. Tambahan yang tak terduga, si Racun Api mendadak mogok sekolah di sekolah lamanya sehingga kami memutuskan untuk memindahkannya ke Taman Kanak-Kanak yang satu yayasan dengan sekolah kakaknya sekarang. Tentu saja walaupun mendadak dan tanpa rencana, proses pindah sekolah ini berlangsung dengan huru-hara dan drama singkat yang puji syukur bisa teratasi tanpa perlu ikut drama di media sosial. Yang penting, tahun ajaran baru datang dan anak-anak sudah bersekolah di sekolah baru. Amin! Allahu akbar! Bersekolah di sekolah baru ini, sungguh membuka mata saya tentang banyak hal. Terutama, tentang bagaimana rasanya menjadi minoritas. Saya lupa apakah sudah pernah bercerita, tetapi sekolah anak-anak yang sekarang menggunakan bahasa Inggris dan Mandarin sebagai pengantarnya. Tentu saja kami sudah tahu sebelumnya, dan bahkan ...

Cyin, Pertanyaan Lo Gengges Deh!

Kemarin, entah untuk ke berapa ratus kalinya saya mendapat pernyataan (sekali lagi pernyataan bukan pertanyaan) yang sama: "Kamu kok nggak nikah-nikah sih." Saya sih sudah kehilangan selera menjawab. Soalnya, apa pun jawaban saya pasti salah deh. Mereka yang ngajak ngomong itu emang nggak niat pengen diskusi, apalagi perhatian. Niat mereka cuma mencerca dan menyudutkan, itu saja. Jadi mau saya jawab apa pun, selalu di-counter lagi sama dia. Saya sampai hafal kalau saya jawab A, mereka bakal balas B. Misalnya saya jawab, pengen kuliah lagi, pasti mereka balas, apa sih artinya pendidikan tinggi kalau nggak punya keluarga, apa yang mau diharapkan nanti di masa tua, pasti hidupnya hampa. Lalu kalau saya jawab lagi, prioritas hidup orang kan beda-beda, siapa tahu bagi mereka yang karir dan pendidikan tinggi tapi nggak membangun keluarga itu emang nggak pengen berkeluarga, kan? Siapa tahu mereka bahagia hidup sendiri. Tapi kalau saya jawab begini, pasti jadi panjang, dan s...