Skip to main content

Je t'aime, Mon Amour...

Je t’aime je t’aime

Oh oui je t’aime
Moi non plus
Oh mon amour
Comme la vague irrésolue
Je vais, je vais et je viens
Entre tes reins
Je vais et je viens
Entre tes reins
Et je me retiens
Je t’aime je t’aime

Oh oui je t’aime
Moi non plus
Oh mon amour
Tu es la vague, moi l’île nue
Tu vas, tu vas et tu viens
Entre mes reins
Tu vas et tu viens
Entre mes reins
Et je te rejoins
Je t’aime je t’aime

Oh

(Je t'aime, Moi Non Plus- Serge Gainsbourg)

Dibanding berbagai bentuk art dari negara lain, saya kadang geleng-geleng dengan apa yang disebut seni di Perancis. Sebagai contoh, film-film di Prancis banyak yang sangat WOW buat saya (however you define wow) padahal dirilis di zaman yang lampau. Sebut saja Emanuelle, yang sangat kontroversial di masanya (bahkan buat saya di masa sekarang pun, Emanuelle is too much for an art), Slogan, atau Je t'aime Moi Non Plus. Saya bahkan nggak pernah bisa move on dari ending film terakhir itu, karena akhirnya sepasang gay meninggalkan Jane Birkin sendirian. Brokeback Mountains atau 50 Shades of Grey nggak ada seujung kukunya dibandingkan film-film Perancis. Hebatnya lagi, di sana semuanya dipandang dari sisi seni semata, dan semua mengapresiasi seni di balik segala ketabuan dan kevulgaran yang ditampilkan.

Tidak cuma film, bahkan untuk musik pun, rasanya banyak sekali komposisi yang nyeleneh, vulgar, namun tetap dianggap sebagai bentuk seni di Perancis. Misalnya, lagu Lemon Incest yang dinyanyikan oleh Serge dan Charlotte Gainsbourg. Banyak yang memandang miring lagu ini, dan banyak kontroversi mengenai hubungan Serge dan putrinya, namun bagi saya sih lagu itu sangat indah liriknya, terlepas dari kontroversi judul dan video klipnya (the love we nevr make, is the purest). 

Juga lagu Je t'aime Moi Non Plus yang dinyanyikan oleh Serge Gainsbourg dan Jane Birkin ini. Lagu ini sebenarnya ditulis oleh Gainsbourg untuk kekasihnya, Brigitte Bardot, dan dinyanyikan oleh mereka berdua namun tidak sempat dirilis. Kemudian Gainsbourg merilisnya beberapa tahun kemudian bersama Birkin (konon Gainsbourg mengajak beberapa penyanyi lain untuk menyanyikan lagu ini namun ditolak). Versi Gainsbourg-Bardot akhirnya dirilis juga di tahun 1986, dan dibandingkan versi Birkin, versi Bardot jauh lebih 'hot'. Namun saya tetap lebih menyukai versi Birkin, walaupun suaranya tak se-mendesah Bardot dan bagian moaning groaning nya tidak se hawt Bardot, bagi saya suara Jane Birkin lebih sensual.

Banyak yang mengkritisi sisi seksual yang sangat eksplisit di lagu ini (I come and I go and I come and I go between your...) ditambah lagi suara desahan-desahan yang konon katanya, Serge Gainsbourg merekam live sex baik dengan Bardot maupun Birkin. Lagu ini juga dilarang di hampir semua negara Eropa, bahkan oleh Paus. Kecuali di Paris tentunya, di mana semua desahan tetap dianggap sebagai, apalagi kalau bukan art. Buat saya sendiri sih, lagu ini baik komposisi maupun liriknya sangat indah. It's just like the truest love song. 

Ketika menulis lagu ini, Bardot meminta Gainsbourg menulis the most beautiful love song he could imagine. Well, makanya lagu ini bagus baget, terlepas dari segala kontroversinya, dan tetap diperdengarkan sampai hari ini. Ini juga salah satu love song favorit saya, walaupun harus didengarkan dengan headset saja :)

Comments

Popular posts from this blog

Lekas Sembuh, Bumiku

Ada banyak hal yang memenuhi pikiran setiap orang saat ini, yang sebagian besarnya mungkin ketakutan. Akan virus, akan perekonomian yang terjun bebas, akan harga saham, akan  ketidakpastian akankah besok masih punya pekerjaan. Ada banyak kekuatiran, juga harapan. Ada jutaan perasaan yang sebagian besarnya tak bisa diungkapkan. Tanpa melupakan bahwa kita tak hanya cukup merasa prihatin namun harus mengulurkan tangan kepada mereka yang membutuhkan, marilah kita mensyukuri apa yang masih kita miliki. Setiap detik kehidupan yang masih diberikan kepada kita, atap untuk berteduh, rumah tempat kita bernaung, makanan, udara yang segar, dan keluarga tercinta yang sehat.

Tahun untuk Berjuang

Saya tidak bermaksud membuat blog ini menjadi kumpulan essay galau, apalagi di awal tahun dan awal dekade yang semestinya disambut dengan penuh semangat. Tapi mungkin tahun ini memang saya mengalami krisis usia 30-an. Mungkin juga usia 30 adalah usia mendewasa yang sebenarnya sehingga banyak hal yang mendadak tersangkut di pikiran. Dan mungkin juga tahun ini memang dibuka dengan berbagai duka yang belum selesai dari tahun lalu. Seorang kerabat dekat yang sangat saya sayangi divonis dengan penyakit yang cukup serius tahun lalu, dan tahun ini kami semua berjuang untuk kesembuhannya. Sangat sulit untuk tetap berpikiran positif di saat ketidakpastian yang mencekam ada di depan mata. Selain satu hal ini, ada beberapa hal lain dalam hidup kami yang sedang tidak beres, seakan semesta kami mulai runtuh sedikit-sedikit, dan jiwa saya lumat perlahan-lahan di dalam pusaran masalah yang tak henti. Saya berkali-kali mencoba mengingatkan diri bahwa saya harus tetap berusaha untuk tid...

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita...