Skip to main content

Siapa Duluan?


Di jaman serba digital dan serba medsos seperti sekarang, gampang banget bagi kita ibu baru untuk memperoleh informasi. Baik info dari artikel, jurnal, penelitian, pendapat ahli yang semuanya bisa diperoleh dalam satu klik saja, sampai dari forum, obrolan dengan sesama ibu, sampai ngintip status atau postingan ibu-ibu lain. Ehem!

Hal yang tadinya tujuannya bagus, yaitu berbagi informasi perkembangan anak, lama-lama tanpa saya sadari berubah menjadi semacam ajang bersaing antar ibu-ibu. Saya cukup kaget sebenarnya, maklum saya baru beralih ke smartphone saat Mbak Rocker sudah berusia enam bulan lebih, dan baru mulai menggunakan satu dua sosial media via tab ya setelah si Racun Api lahir. Jadi bisa dibilang sampai usia Mbak Rocker dua tahun, saya nggak pernah membandingkan milestone anak dengan siapa pun. Paling ya anaknya teman-teman (di dunia nyata yang tiap hari ketemu), anak tetangga, anak-anak orang lain di Posyandu atau dokter anak. 

Sejak si Racun Api lahir, karena sering mengecek instagram dan kebetulan ikut grup whatsapp birthclub urbanmama, saya jadinya membandingkan juga milestone si Racun Api (dan kadang juga Mbak Rocker) dengan anak-anak lain. Mulai dari anaknya ibu-ibu grup sampai anaknya Dian Sastro dan Stella Sutjiadi. Tujuan awalnya sih tentu karena saya ingin mendapat insight yang lebih baik dari ibu-ibu hebat tadi.

Tapi apa yang terjadi Saudara? Saya stres.

Iya stres, karena ternyata kok adik belum bisa tengkurap di saat temannya sudah bisa? Kok beratnya segini-gini aja? Kok kakak belum tertarik ya main mainan edukatif? Kok anaknya mama itu sudah bisa menggunting dengan  rapi sih?  Dan seterusnya.

Saya kewalahan. Karena tentu saja selalu ada anak lain yang melakukan sesuatu lebih dulu dari anak-anak saya. Sampai kadang saya lupa, anak yang bisa tengkurap duluan, bisa main baby gym duluan, bisa ngoceh duluan, itu tidak semuanya anak yang sama. Anak yang bisa duduk duluan, bisa jadi bukan yang paling cepat berjalan, atau bicara. Anak yang berat badannya terdepan berbeda dengan anak yang paling tinggi, dan berbeda dengan anak yang sudah pisah kamar dari umur dua bulan. Lalu kenapa saya harus selalu merasa anak saya ketinggalan, padahal anak-anak lain itu semuanya duluan di bidang masing-masing?

Lalu lagi, memangnya kenapa kalau dia duluan? Memangnya kenapa kalau anak saya bisanya belakangan? Memangnya ini lomba? Toh pada akhirnya semua akan bisa juga. Toh kalau dia mau masuk universitas nanti nggak ditanya bisa tengkurap umur berapa bulan. Bahkan mungkin nggak akan ada HRD yang nanya bisa baca tulis dan kenal alfabet umur berapa. Ya kan?

Terus, apa masalahnya siapa yang duluan kalau begitu?

Yang ada, saya malah jadi nggak bisa menikmati masa-masa indah perkembangan anak dan manisnya menjadi ibu karena sibuk berkompetisi mencatat rekor siapa yang duluan. Saya jadi nggak bisa menghargai hal-hal kecil, kata pertama anak, langkah pertamanya karena sibuk melihat perkembangan anak orang lain, yang tidak semuanya saya kenal langsung pula. Apa pun dan bagaimana pun anak saya tumbuh, rasanya jadi masih kurang dibandingkan dengan anak lain. Informasi yang seharusnya menambah wawasan berubah menjadi sesuatu yang tidak sehat. Dan itu bukan salah medsos, tetapi saya sendiri yang kurang bijak menyikapinya. 

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku