Kadang, nafsu diri ini membuat saya menyusun itinerary liburan yang ambisius luar biasa: ke Bali tiga hari, dengan jadwal hari pertama sampai langsung ke Ayung buat rafting lalu lanjut nonton tari kecak. Lalu besok paginya bikin agenda lihat monyet di Sangeh, ke Bird Park, makan siang bebek bengil sekalian ke pasar Sukowati, trus lanjut muterin kafe-kafe di Ubud dan mampir ke Antonio Blanco, malamnya ke Beachwalk. Hari ketiga kejar sunset di Sanur lalu antri Men Weti, cafe hoping sambil nyari kalau ada toko suvenir lucu-lucu sebelum mengejar penerbangan siang.
Saya suka lupa kalau ada anak-anak yang pastinya kelelahan dengan itu semua. Atau kadang saya ingat anak-anak, tapi saya suka berpikir kalau anak-anak pasti juga akan suka. Padahal ya, entah dari mana pikiran itu datang. Kadang saya suka malu sendiri kalau sedang mengambil foto anak-anak di tempat wisata lalu mereka tidak kooperatif, dan saya menemukan diri saya berdecak jengkel.
Duh, padahal kan ini judulnya liburan anak-anak, pikir saya. Kenapa juga saya memaksakan aktivitas yang tidak bisa mereka menikmati? Kadang setelah kami liburan keluarga ke Singapura, Malaysia atau Bali dan saya bertanya apa yang anak-anak suka, jawaban mereka kurang lebih sama: berenang di kolam hotel. Hahaha. Ah, anak-anak, kebahagiaan mereka sederhana saja. Tak perlu liburan ke destinasi yahud apalagi memamerkannya di media sosial.
Tentu saja ini tidak berarti liburan keluarga itu tidak perlu atau nggak usah ajak anak ya. Pengingat saja bahwa kadang kita lupa buat siapa kita merancang semua liburan ini. Kadang kita terlalu cerewet mengatur dan terlalu semangat menyusun berbagai rencana sampai kita lupa kalau anak-anak tidak butuh perjalanan gemerlap untuk menjadikan liburannya sempurna.
Comments
Post a Comment