Skip to main content

(Lemari) Minimalis

Beberapa bulan ini, setelah overdosis tulisan Leo Babauta dan Joshua Becker, saya mencoba hidup dengan (lemari pakaian) minimalis. Sebenarnya tujuan gerakan minimalisme ini banyak ya, dan sebagian besar memiliki tujuan yang lebih dalam daripada sekedar ingin rumah yang rapi dan tidak dipenuhi timbunan barang tak terpakai. Tetapi untuk saya pribadi saat ini, saya memulai dengan menyederhanakan lemari pakaian saya.

Sebenarnya ide untuk memiliki pakaian dengan jumlah terbatas ini mula-mula tidak saya peroleh dari gerakan minimalisme, tetapi dari Steve Jobs yang setiap hari memakai baju yang sama. Juga Presiden Obama yang hanya memiliki dua warna setelan jas, karena terlalu banyak keputusan penting yang harus dia buat dalam satu hari sehingga waktunya terlalu berharga untuk dihabiskan dengan mengambil keputusan mau pakai baju apa. Juga ada gerakan The Uniform yang viral di mana seorang perempuan kantoran memilih memakai satu model baju yang sama, celana hitam dan kemeja putih. Dia tidak sesibuk Obama tentu, namun dia sudah muak merasa bingung pakai baju apa setiap harinya, lalu berpikir apakah bajunya pantas atau tidak.

Berangkat dari situ, saya mendonasikan sebagian besar isi lemari saya. Saya memulai dari pakaian, sedangkan sepatu dan tas yang lebih akan sentimentil saya sisihkan untuk nanti. Saya menyisihkan banyak sekali pakaian sehingga saat proses bersih-bersih selesai, di lemari saya hanya tersisa sekitar 50 potong pakaian, atasan dan bawahan, tanpa menghitung pakaian dalam dan baju rumah.

Jumlah ini kurang dari sepertiga jumlah awal baju saya, dan meskipun saya tidak mengikuti Capsule Wardrobe atau Project 333 yang mensyaratkan jumlah tertentu, saya tetap merasa ini awal yang baik. Saya tidak memaksakan batasan jumlah tertentu sebab berbeda dengan penggagas Capsule Wardrobe dan Project 333 saya memiliki pekerjaan formal dengan seragam yang mengharuskan saya tetap mempertahankan beberapa potong pakaian profesional di lemari.



Bagaimana perasaan saya?

Sejujurnya sangat baik. Saya merasa senang setiap membuka lemari tidak bingung harus pakai baju apa, karena toh bajunya itu lagi-itu lagi.

Apakah saya tidak merasa kekurangan pakaian? Anehnya, tidak. Saya justru merasa senang bisa sering-sering memakai pakaian favorit saya, tidak seperti dulu di mana saya harus merotasi pemakaian baju-baju favorit saya agar baju-baju lain yang kurang favorit juga terpakai.

Bagaimana pendapat orang lain?

Sejujurnya, saya tidak peduli karena secara keseluruhan saya merasa sangat baik. Mengapa juga pendapat orang menjadi penting? Namun sejujurnya juga, tidak ada yang benar-benar mengomentari pakaian saya yang itu-itu saja. Saya rasa selama ini orang lain, bahkan yang benar-benar dekat sekali pun, tidak ada yang seratus persen memperhatikan apa yang saya pakai setiap hari. Jika misalnya saya memakai baju yang sama di hari Senin dan Kamis, misalnya, tidak seorang pun tahu selain saya sendiri.

Jadi, jika koleksi di pakaian tidak begitu penting bagi saya dan apalagi bagi orang lain, mengapa tidak memilih yang minimalis saja?

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku