Skip to main content

Nyes di Hati

Bulan lalu, saya bersama beberapa teman dari Komunitas Jendela Nusantara melakukan perjalanan ke salah satu pulau terluar di utara Indonesia. Perjalanan ini merupakan kelanjutan dari program mengajar mereka di daerah tertinggal. Saya membawa kedua krucil saya, Mbak Rocker dan si Racun Api, dengan kapal sungai, dilanjut perjalanan darat dan kapal kecil.

Perjalanan kali ini sangat berkesan bagi saya terutama karena saya membawa dua buah hati saya. Walaupun saya sering mengikuti acara semacam ini sejak kuliah, namun pergi bersama dua anak kali ini sangat berbeda. Bukan terutama karena kerepotan di perjalanan, namun perjalanan ini banyak menyisakan nyes di hati. Nyes melihat kondisi pendidikan di perbatasan baik dari segi sarana prasarana, ketiadaan guru-guru, maupun kurikulum pendidikan yang belum jelas karena pengajar saja nggak ada. Nyes melihat betapa timpangnya pembangunan di daerah perbatasan dibandingkan dengan Pulau Jawa. Nyes melihat masih banyaknya penduduk Indonesia yang tak tersentuh tangan pemerintah pusat.

Tapi terutama, saya merasa nyes di hati ketika melihat kedua anak saya. Seperti biasa, mereka anak-anak yang baik dan sangat berempati. Tapi saya merasa sedih saat menyadari bahwa kesempatan yang dimiliki kedua anak saya terutama untuk menuntut ilmu dan melihat dunia tidak dimiliki oleh jutaan anak lain di Indonesia. Saya merasa sedih bahwa saya belum bisa berbuat banyak untuk meringankan kesenjangan itu. Setiap kali saya membacakan buku untuk Mbak Rocker sebelum tidur, saya selalu teringat mereka yang kekurangan buku bacaan. Bagaimana mungkin menumbuhkan minat baca jika yang dibaca saja nggak ada? Lalu saya yang cengeng ini akan diam-diam menangis.

Sekeras apa pun saya berusaha mendekatkan jarak yang senjang itu entah dengan menggalang dana atau terjun langsung ke lapangan, saya tetap tidak bisa meringankan rasa nyes di hati saya sendiri. Saya sering iri pada relawan-relawan yang bisa tetap riang di tengah keterbatasan yang mereka hadapi, mereka bisa melaksanakan misi dengan tuntas lalu pulang dari lapangan dengan ceria dan kembali ke kehidupan biasa. Sementara saya, bapernya lama banget. Setiap kali dalam perjalanan pulang saya selalu merasa sedih bahwa hanya sekian yang bisa saya lakukan.


Seorang sahabat saya pernah menyemangati bahwa tak apa merasa nyes di hati. Itu bukti bahwa kita manusia biasa yang masih punya rasa kemanusiaan. Yang terpenting adalah rasa nyes itu harus bisa mendorong kita untuk berbuat lebih, bukan hanya meratap dan mengeluh. Karena rasa nyes itu tidak bisa membantu mereka yang membutuhkan, tapi rasa nyes lah yang harusnya bisa menggerakkan kita untuk melakukan sesuatu untuk memperbaiki keadaan. Selalu lebih baik untuk menyalakan lentera biarpun kecil, dibanding hanya mengutuk kegelapan.

Jadi, tetaplah merasakan nyes itu di hati, bisik saya kepada diri sendiri. 

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,...

Sekolah Baru

Selamat tahun ajaran baru! Tahun ini Mbak Rocker masuk Sekolah Dasar di sekolah swasta yang sudah kami pertimbangkan bersama masak-masak selama beberapa waktu lamanya. Tambahan yang tak terduga, si Racun Api mendadak mogok sekolah di sekolah lamanya sehingga kami memutuskan untuk memindahkannya ke Taman Kanak-Kanak yang satu yayasan dengan sekolah kakaknya sekarang. Tentu saja walaupun mendadak dan tanpa rencana, proses pindah sekolah ini berlangsung dengan huru-hara dan drama singkat yang puji syukur bisa teratasi tanpa perlu ikut drama di media sosial. Yang penting, tahun ajaran baru datang dan anak-anak sudah bersekolah di sekolah baru. Amin! Allahu akbar! Bersekolah di sekolah baru ini, sungguh membuka mata saya tentang banyak hal. Terutama, tentang bagaimana rasanya menjadi minoritas. Saya lupa apakah sudah pernah bercerita, tetapi sekolah anak-anak yang sekarang menggunakan bahasa Inggris dan Mandarin sebagai pengantarnya. Tentu saja kami sudah tahu sebelumnya, dan bahkan ...

Cyin, Pertanyaan Lo Gengges Deh!

Kemarin, entah untuk ke berapa ratus kalinya saya mendapat pernyataan (sekali lagi pernyataan bukan pertanyaan) yang sama: "Kamu kok nggak nikah-nikah sih." Saya sih sudah kehilangan selera menjawab. Soalnya, apa pun jawaban saya pasti salah deh. Mereka yang ngajak ngomong itu emang nggak niat pengen diskusi, apalagi perhatian. Niat mereka cuma mencerca dan menyudutkan, itu saja. Jadi mau saya jawab apa pun, selalu di-counter lagi sama dia. Saya sampai hafal kalau saya jawab A, mereka bakal balas B. Misalnya saya jawab, pengen kuliah lagi, pasti mereka balas, apa sih artinya pendidikan tinggi kalau nggak punya keluarga, apa yang mau diharapkan nanti di masa tua, pasti hidupnya hampa. Lalu kalau saya jawab lagi, prioritas hidup orang kan beda-beda, siapa tahu bagi mereka yang karir dan pendidikan tinggi tapi nggak membangun keluarga itu emang nggak pengen berkeluarga, kan? Siapa tahu mereka bahagia hidup sendiri. Tapi kalau saya jawab begini, pasti jadi panjang, dan s...