Skip to main content

raising snowflakes

Konon katanya, orang tua zaman sekarang jauh lebih berpikiran terbuka dibandingkan para orang tua di zaman kita kecil dulu. Orang tua zaman sekarang juga lebih demokratis dalam mendidik anak, mau mendengarkan pendapat anaknya, lebih tidak pelit memuji, dan tidak menghukum anak sebagai metode pendidikan seperti yang sering dilakukan orang tua kita dulu.

Nampaknya ideal sekali, ya? Lalu apakah hasil didikan orang tua yang berpikiran lebih terbuka ini lebih baik?

Mungkin.

Tapi sekarang, kadangkala, saya menemukan diri sendiri kuatir dengan cara saya mendidik anak-anak (yang kurang lebih sama ajalah dengan cara orang tua jaman sekarang: sedikit memarahi, berusaha banyak memuji dan mengerti). Seringkali saya bertanya, apakah saya tidak terlalu memanjakan anak-anak? Apakah saya tidak kurang tegas? Apakah saya terlalu banyak memuji dan seharusnya lebih mengkritik? Saya sering mendapati diri saya tidak setuju dengan memuji anak apa pun hasilnya. Sebab, jika hasil jelek pun dipuji, bagaimana lagi anak akan termotivasi untuk memberikan hasil yang baik? Jika setiap kesalahan dimaafkan, bagaimana anak akan belajar?

Sistem pendidikan sekarang juga menghilangkan kompetisi karena semua anak berbakat dengan caranya, katanya. Oya? Lalu kenapa masih ada Olimpiade dan Grammy Awards jika semuanya tercipta sama?

Kadangkala saya suka gemas juga dengan pola pendidikan yang penuh penyangkalan terhadap dunia nyata ini. Seperti pertandingan bola yang tidak mencatat kalah dan menang karena yang penting bukan hasil tapi proses, katanya. Ah apa iya? Apa sebegitu buruknya efek menyadarkan anak bahwa sebagian anak memang lebih hebat dalam sebagian hal? Apakah sebegitu sulitnya mengajarkan anak menerima kekalahan dengan lapang dada dan merayakan kemenangan dengan gempita? Apakah sebegitu berbahayanya?

Saya takut, apakah saya sedang raising snowflakes? Yang jiwanya bukan akan jadi kuat dengan semua pujian, namun justru akan rapuh dan tidak sanggup dikritik karena terlalu sering dipuji bahkan untuk hasil yang biasa-biasa? Yang akan menyerah pada tantangan pertama karena selama ini jalan selalu dilapangkan baginya?

Ah, semoga saja tidak.

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,...

Sekolah Baru

Selamat tahun ajaran baru! Tahun ini Mbak Rocker masuk Sekolah Dasar di sekolah swasta yang sudah kami pertimbangkan bersama masak-masak selama beberapa waktu lamanya. Tambahan yang tak terduga, si Racun Api mendadak mogok sekolah di sekolah lamanya sehingga kami memutuskan untuk memindahkannya ke Taman Kanak-Kanak yang satu yayasan dengan sekolah kakaknya sekarang. Tentu saja walaupun mendadak dan tanpa rencana, proses pindah sekolah ini berlangsung dengan huru-hara dan drama singkat yang puji syukur bisa teratasi tanpa perlu ikut drama di media sosial. Yang penting, tahun ajaran baru datang dan anak-anak sudah bersekolah di sekolah baru. Amin! Allahu akbar! Bersekolah di sekolah baru ini, sungguh membuka mata saya tentang banyak hal. Terutama, tentang bagaimana rasanya menjadi minoritas. Saya lupa apakah sudah pernah bercerita, tetapi sekolah anak-anak yang sekarang menggunakan bahasa Inggris dan Mandarin sebagai pengantarnya. Tentu saja kami sudah tahu sebelumnya, dan bahkan ...

Cyin, Pertanyaan Lo Gengges Deh!

Kemarin, entah untuk ke berapa ratus kalinya saya mendapat pernyataan (sekali lagi pernyataan bukan pertanyaan) yang sama: "Kamu kok nggak nikah-nikah sih." Saya sih sudah kehilangan selera menjawab. Soalnya, apa pun jawaban saya pasti salah deh. Mereka yang ngajak ngomong itu emang nggak niat pengen diskusi, apalagi perhatian. Niat mereka cuma mencerca dan menyudutkan, itu saja. Jadi mau saya jawab apa pun, selalu di-counter lagi sama dia. Saya sampai hafal kalau saya jawab A, mereka bakal balas B. Misalnya saya jawab, pengen kuliah lagi, pasti mereka balas, apa sih artinya pendidikan tinggi kalau nggak punya keluarga, apa yang mau diharapkan nanti di masa tua, pasti hidupnya hampa. Lalu kalau saya jawab lagi, prioritas hidup orang kan beda-beda, siapa tahu bagi mereka yang karir dan pendidikan tinggi tapi nggak membangun keluarga itu emang nggak pengen berkeluarga, kan? Siapa tahu mereka bahagia hidup sendiri. Tapi kalau saya jawab begini, pasti jadi panjang, dan s...