Konon katanya, orang tua zaman sekarang jauh lebih berpikiran terbuka dibandingkan para orang tua di zaman kita kecil dulu. Orang tua zaman sekarang juga lebih demokratis dalam mendidik anak, mau mendengarkan pendapat anaknya, lebih tidak pelit memuji, dan tidak menghukum anak sebagai metode pendidikan seperti yang sering dilakukan orang tua kita dulu.
Nampaknya ideal sekali, ya? Lalu apakah hasil didikan orang tua yang berpikiran lebih terbuka ini lebih baik?
Mungkin.
Tapi sekarang, kadangkala, saya menemukan diri sendiri kuatir dengan cara saya mendidik anak-anak (yang kurang lebih sama ajalah dengan cara orang tua jaman sekarang: sedikit memarahi, berusaha banyak memuji dan mengerti). Seringkali saya bertanya, apakah saya tidak terlalu memanjakan anak-anak? Apakah saya tidak kurang tegas? Apakah saya terlalu banyak memuji dan seharusnya lebih mengkritik? Saya sering mendapati diri saya tidak setuju dengan memuji anak apa pun hasilnya. Sebab, jika hasil jelek pun dipuji, bagaimana lagi anak akan termotivasi untuk memberikan hasil yang baik? Jika setiap kesalahan dimaafkan, bagaimana anak akan belajar?
Sistem pendidikan sekarang juga menghilangkan kompetisi karena semua anak berbakat dengan caranya, katanya. Oya? Lalu kenapa masih ada Olimpiade dan Grammy Awards jika semuanya tercipta sama?
Kadangkala saya suka gemas juga dengan pola pendidikan yang penuh penyangkalan terhadap dunia nyata ini. Seperti pertandingan bola yang tidak mencatat kalah dan menang karena yang penting bukan hasil tapi proses, katanya. Ah apa iya? Apa sebegitu buruknya efek menyadarkan anak bahwa sebagian anak memang lebih hebat dalam sebagian hal? Apakah sebegitu sulitnya mengajarkan anak menerima kekalahan dengan lapang dada dan merayakan kemenangan dengan gempita? Apakah sebegitu berbahayanya?
Saya takut, apakah saya sedang raising snowflakes? Yang jiwanya bukan akan jadi kuat dengan semua pujian, namun justru akan rapuh dan tidak sanggup dikritik karena terlalu sering dipuji bahkan untuk hasil yang biasa-biasa? Yang akan menyerah pada tantangan pertama karena selama ini jalan selalu dilapangkan baginya?
Ah, semoga saja tidak.
Nampaknya ideal sekali, ya? Lalu apakah hasil didikan orang tua yang berpikiran lebih terbuka ini lebih baik?
Mungkin.
Tapi sekarang, kadangkala, saya menemukan diri sendiri kuatir dengan cara saya mendidik anak-anak (yang kurang lebih sama ajalah dengan cara orang tua jaman sekarang: sedikit memarahi, berusaha banyak memuji dan mengerti). Seringkali saya bertanya, apakah saya tidak terlalu memanjakan anak-anak? Apakah saya tidak kurang tegas? Apakah saya terlalu banyak memuji dan seharusnya lebih mengkritik? Saya sering mendapati diri saya tidak setuju dengan memuji anak apa pun hasilnya. Sebab, jika hasil jelek pun dipuji, bagaimana lagi anak akan termotivasi untuk memberikan hasil yang baik? Jika setiap kesalahan dimaafkan, bagaimana anak akan belajar?
Sistem pendidikan sekarang juga menghilangkan kompetisi karena semua anak berbakat dengan caranya, katanya. Oya? Lalu kenapa masih ada Olimpiade dan Grammy Awards jika semuanya tercipta sama?
Kadangkala saya suka gemas juga dengan pola pendidikan yang penuh penyangkalan terhadap dunia nyata ini. Seperti pertandingan bola yang tidak mencatat kalah dan menang karena yang penting bukan hasil tapi proses, katanya. Ah apa iya? Apa sebegitu buruknya efek menyadarkan anak bahwa sebagian anak memang lebih hebat dalam sebagian hal? Apakah sebegitu sulitnya mengajarkan anak menerima kekalahan dengan lapang dada dan merayakan kemenangan dengan gempita? Apakah sebegitu berbahayanya?
Saya takut, apakah saya sedang raising snowflakes? Yang jiwanya bukan akan jadi kuat dengan semua pujian, namun justru akan rapuh dan tidak sanggup dikritik karena terlalu sering dipuji bahkan untuk hasil yang biasa-biasa? Yang akan menyerah pada tantangan pertama karena selama ini jalan selalu dilapangkan baginya?
Ah, semoga saja tidak.
?
Comments
Post a Comment