Skip to main content

Mata yang Enak Dipandang

Saya punya beberapa teman perempuan yang mempunyai kualitas yang menurut saya langka: mata yang enak dipandang. Bukan mata yang indah secara fisik, atau mata yang dibalut make up mata yang sempurna dan alis yang paripurna, tetapi yang punya kemampuan ajaib meneduhkan hati mereka yang menatapnya. Bukan hipnotis lho ya, cuma menyejukkan, begitu.

Saya paling sering mendatangi teman-teman dengan mata yang enak dipandang ini setiap saya sedang  ada masalah, rindu rumah, penat, atau cuma resah yang nggak jelas juga sebabnya apa. Pokoknya sewaktu perasaan saya nggak enak. Biasanya secara otomatis saya terpikirkan si teman ini, lalu saya mendatangi mereka, dan mereka hampir selalu available serta menerima saya dengan tangan terbuka. Kadang saya menceritakan masalah saya pada mereka, dan mereka mendengarkan dengan penuh perhatian, menggenggam tangan saya, menemani saya ngobrol dengan secangkir teh hangat dan cemilan. Kadang mereka memberikan nasihat, kadang juga tidak, namun mereka mendengarkan cerita saya saja sudah cukup. Bahkan terkadang saya tidak menceritakan permasalahan saya, namun keberadaan mereka di sekitar saya saja sudah cukup. Menatap mata mereka saja sudah menentramkan hati. Kadang mereka membiarkan saya mengamati mereka beraktivitas di rumahnya: mencuci, memasak, menyeterika pakaian, dan anehnya saya merasa itu meditatif. Kadang juga mereka mengajak saya jalan, atau sekedar memasak bersama, dan itu cukup membuat hati saya lapang.


Mata yang enak dipandang itu, membuat saya merasa di rumah.

Biasanya sih mereka ini teman yang lebih tua usianya dari saya, dan sudah berumah tangga atau memiliki anak, jadi saya dulu menganggap itu adalah suatu kualitas keibuan yang akan secara otomatis tumbuh pada setiap perempuan. Tetapi semakin saya dewasa, umur bertambah dan dengan demikian usia orang-orang di sekitar saya juga bertambah dan hampir semuanya sudah menginjak usia yang sama dengan 'si mata yang enak dipandang' dulu, namun nyatanya, tidak semua perempuan, tidak yang single maupun berkeluarga punya kualitas menenangkan itu.

Akhirnya saya dengan asal-asalan menyimpulkan: mata yang enak dipandang itu spesial, sama seperti bakat memasak atau bermain gitar. Tidak semua orang bisa memilikinya.

Dan berbeda dengan permainan gitar atau kemampuan memasak, bakat berupa mata yang enak dipandang itu tidak bisa diasah. Tidak bisa tiba-tiba dimunculkan. It's just gifted.

Tentu saja saya juga bercita-cita menjadi seseorang dengan mata yang enak dipandang. Seseorang yang menjadi gunung yang kokoh bagi semua orang di sekitarnya, di mana mereka bisa menyandarkan segala masalah dan kesedihannya kepada saya, dan tanpa saya perlu melakukan apa-apa, hanya dengan pandangan mata saya yang menenangkan, beban hidup orang itu akan terangkat sedikit. Seseorang yang juga seperti sinar matahari, yang hangat dan bisa menceriakan suasana yang muram.

Saya selalu ingin jadi orang seperti itu. Minimal bagi suami dan anak-anak saya.

Tentu saja mata yang enak dipandang itu bukan sesuatu yang bisa tiba-tiba muncul dalam diri saya. Saya berusaha melakukan hal-hal yang membuat keluarga saya nyaman di sekitar saya: menyediakan makanan yang enak, memberikan perhatian dan mendengarkan cerita-cerita mereka. Saya juga selalu berusaha ada untuk teman-teman saya dan bersikap sepositif mungkin terhadap masalah hidup yang mereka hadapi. Namun apakah saya sudah menjadi si mata yang enak dipandang? Mungkin belum, entahlah.

Mungkin suatu hari saya akan memiliki sepasang mata yang meneduhkan itu. Mungkin juga tidak. Namun semoga, saya bisa selalu menjadi tempat pulang bagi keluarga, dan tempat bersandar bagi sahabat-sahabat saya.

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,...

Sekolah Baru

Selamat tahun ajaran baru! Tahun ini Mbak Rocker masuk Sekolah Dasar di sekolah swasta yang sudah kami pertimbangkan bersama masak-masak selama beberapa waktu lamanya. Tambahan yang tak terduga, si Racun Api mendadak mogok sekolah di sekolah lamanya sehingga kami memutuskan untuk memindahkannya ke Taman Kanak-Kanak yang satu yayasan dengan sekolah kakaknya sekarang. Tentu saja walaupun mendadak dan tanpa rencana, proses pindah sekolah ini berlangsung dengan huru-hara dan drama singkat yang puji syukur bisa teratasi tanpa perlu ikut drama di media sosial. Yang penting, tahun ajaran baru datang dan anak-anak sudah bersekolah di sekolah baru. Amin! Allahu akbar! Bersekolah di sekolah baru ini, sungguh membuka mata saya tentang banyak hal. Terutama, tentang bagaimana rasanya menjadi minoritas. Saya lupa apakah sudah pernah bercerita, tetapi sekolah anak-anak yang sekarang menggunakan bahasa Inggris dan Mandarin sebagai pengantarnya. Tentu saja kami sudah tahu sebelumnya, dan bahkan ...

Cyin, Pertanyaan Lo Gengges Deh!

Kemarin, entah untuk ke berapa ratus kalinya saya mendapat pernyataan (sekali lagi pernyataan bukan pertanyaan) yang sama: "Kamu kok nggak nikah-nikah sih." Saya sih sudah kehilangan selera menjawab. Soalnya, apa pun jawaban saya pasti salah deh. Mereka yang ngajak ngomong itu emang nggak niat pengen diskusi, apalagi perhatian. Niat mereka cuma mencerca dan menyudutkan, itu saja. Jadi mau saya jawab apa pun, selalu di-counter lagi sama dia. Saya sampai hafal kalau saya jawab A, mereka bakal balas B. Misalnya saya jawab, pengen kuliah lagi, pasti mereka balas, apa sih artinya pendidikan tinggi kalau nggak punya keluarga, apa yang mau diharapkan nanti di masa tua, pasti hidupnya hampa. Lalu kalau saya jawab lagi, prioritas hidup orang kan beda-beda, siapa tahu bagi mereka yang karir dan pendidikan tinggi tapi nggak membangun keluarga itu emang nggak pengen berkeluarga, kan? Siapa tahu mereka bahagia hidup sendiri. Tapi kalau saya jawab begini, pasti jadi panjang, dan s...