Skip to main content

Merantau

Sudah lebih dari sepuluh tahun saya hidup di rantau, dalam artian jauh dari orang tua dan keluarga. Selama sepuluh tahun itu saya berubah-ubah aktivitas dan pekerjaan: mahasiswa, karyawan, lalu mahasiswa lagi dan karyawan lagi. Selama itu juga status dan predikat saya berubah-ubah: dari single and available, in a relationship, single lagi, it's complicated (serasa status facebook ya, hahaha) sampai pada in a relationship with 50% chance of marriage, kemudian engaged, married, married with a kid, married with two kids...  Bahkan saya juga berpindah kota, negara, dan pulau selama sepuluh tahun ini.


Semua perjalanan dan tahapan kehidupan itu saya lalui dalam keadaan jauh dari keluarga inti. Bahkan saya melahirkan kedua anak saya tanpa didampingi ibu saya, yang dulu saya kira pasti akan ada menemani di sisi ranjang di ruang bersalin, sebab siapa lagi yang akan menenangkan saya?

Tidak pernah terpikirkan oleh saya sebelum merantau, saya akan menjadi sangat detached dari keluarga inti saya dan sanggup melakukan banyak hal dan mengambil banyak keputusan sendiri. Bahkan semakin dewasa, saya juga semakin memilah berita apa saja yang layak saya bagi kepada keluarga dan mana yang sebaiknya saya simpan sendiri. Bukan, bukan karena saya ingin menjauh atau main rahasia atau apa, hanya saja, semakin dewasa saya semakin tahu bahwa luka di hati orangtua itu lama keringnya saat mendengar anaknya tertimpa musibah. Bahkan meskipun musibah itu lama berlalu dan si anak sudah baik-baik saja, masih ada sisa nyeri di hati orangtua. Saya memahami itu karena sekarang saya juga seorang ibu. Karenanya saya menyaring apa-apa yang kira-kira bisa membuat orangtua saya kepikiran, dan berbagi hal-hal yang menyenangkan saja.

Selain kemandirian secara fisik, finansial, dan emosi, merantau juga meluaskan toleransi saya terhadap berbagai macam manusia, adat istiadat, kebiasaan, citarasa makanan, suasana sebuah kota beserta kelebihan dan kekurangannya. Saya pernah tinggal di kota besar dengan segala gemerlapnya, segala kemudahan dan fasilitasnya namun juga hiruk pikuknya, macetnya, acuh tak acuh penghuninya. Saya juga merasakan tinggal di pulau kecil dengan fasilitas umum yang minim, listrik yang byarpet, sinyal operator telepon yang timbu tenggelam, namun di samping itu juga punya udara yang bersih, langit yang biru, suasana yang sunyi dan damai. Saya belajar untuk menerima apa pun yang disodorkan di hadapan saya dan mencoba menyukainya karena semua itu akan menjadi bagian hidup saya, mau tidak mau. Saya belajar untuk tidak (terlalu banyak) mengeluh dan membandingkan tempat yang sekarang dengan kampung halaman saya atau tempat tinggal saya sebelumnya.

Merantau juga mengajarkan saya untuk beradaptasi dan menerima perubahan, karena tidak ada gunanya live in my own bubble. Karenanya setiap kali berpindah tempat tinggal saya selalu berusaha membaur dengan lingkungan rumah yang baru, belajar bahasa yang baru, mencari teman-teman baru dan kegiatan baru untuk ditekuni. Memang setiap masa awal pindah, butuh waktu buat saya untuk tune in, untuk move on dari kesedihan dan perasaan kehilangan meninggalkan tempat yang lama, tapi this is life as it is, hidup dan perubahan terus berjalan, roda terus berputar dan saya akan terlindas jika tidak mau ikut bergerak.

Tentu, suatu hari saya ingin juga tinggal menetap di suatu tempat, atau kembali ke kampung halaman saya. Tetapi untuk saat ini, saya cukup bahagaia dengan keadaan yang sekarang :).



Orang pandai dan beradab, tak 'kan diam di kampung halaman.

Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang.

Pergilah, 'kan kau dapatkan pengganti dari kerabat dan teman.
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.
Aku melihat air yang diam menjadi rusak karena diam tertahan.
Jika mengalir menjadi jernih jika tidak, dia ‘kan keruh menggenang.
Singa tak 'kan pernah memangsa jika tak tinggalkan sarang.
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak 'kan kena sasaran.
Jika saja matahari di orbitnya tak bergerak dan terus diam, 
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang.
Rembulan jika terus-menerus purnama sepanjang zaman, 
Orang-orang tak 'kan menunggu saat munculnya datang.
Biji emas bagai tanah biasa sebelum digali dari tambang,
Setelah diolah dan ditambang manusia ramai memperebutkan .
Kayu gahru tak ubahnya kayu biasa di dalam hutan,
Jika dibawa ke kota berubah mahal seperti emas.
(Imam Asy Syafi'i)

Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,...

Sekolah Baru

Selamat tahun ajaran baru! Tahun ini Mbak Rocker masuk Sekolah Dasar di sekolah swasta yang sudah kami pertimbangkan bersama masak-masak selama beberapa waktu lamanya. Tambahan yang tak terduga, si Racun Api mendadak mogok sekolah di sekolah lamanya sehingga kami memutuskan untuk memindahkannya ke Taman Kanak-Kanak yang satu yayasan dengan sekolah kakaknya sekarang. Tentu saja walaupun mendadak dan tanpa rencana, proses pindah sekolah ini berlangsung dengan huru-hara dan drama singkat yang puji syukur bisa teratasi tanpa perlu ikut drama di media sosial. Yang penting, tahun ajaran baru datang dan anak-anak sudah bersekolah di sekolah baru. Amin! Allahu akbar! Bersekolah di sekolah baru ini, sungguh membuka mata saya tentang banyak hal. Terutama, tentang bagaimana rasanya menjadi minoritas. Saya lupa apakah sudah pernah bercerita, tetapi sekolah anak-anak yang sekarang menggunakan bahasa Inggris dan Mandarin sebagai pengantarnya. Tentu saja kami sudah tahu sebelumnya, dan bahkan ...

Cyin, Pertanyaan Lo Gengges Deh!

Kemarin, entah untuk ke berapa ratus kalinya saya mendapat pernyataan (sekali lagi pernyataan bukan pertanyaan) yang sama: "Kamu kok nggak nikah-nikah sih." Saya sih sudah kehilangan selera menjawab. Soalnya, apa pun jawaban saya pasti salah deh. Mereka yang ngajak ngomong itu emang nggak niat pengen diskusi, apalagi perhatian. Niat mereka cuma mencerca dan menyudutkan, itu saja. Jadi mau saya jawab apa pun, selalu di-counter lagi sama dia. Saya sampai hafal kalau saya jawab A, mereka bakal balas B. Misalnya saya jawab, pengen kuliah lagi, pasti mereka balas, apa sih artinya pendidikan tinggi kalau nggak punya keluarga, apa yang mau diharapkan nanti di masa tua, pasti hidupnya hampa. Lalu kalau saya jawab lagi, prioritas hidup orang kan beda-beda, siapa tahu bagi mereka yang karir dan pendidikan tinggi tapi nggak membangun keluarga itu emang nggak pengen berkeluarga, kan? Siapa tahu mereka bahagia hidup sendiri. Tapi kalau saya jawab begini, pasti jadi panjang, dan s...