Sebagai seseorang yang menjalani masa remaja dan dewasa muda bersama orang-orang 'jalanan', misuh atau mengucapkan makian menjadi hal yang biasa buat saya. Biasa bukan dalam artian saya biasa misuh-misuh setiap hari, tapi lebih ke saya paham bahwa kadang pisuhan atau kata umpatan itu tidak bermakna apa-apa. Tidak bermaksud buruk, kadang hanya sebagai ungkapan ekspresi (seperti jancok-nya Sujiwo Tedjo) dan bahkan kadang dalam konteks pujian (misalkan dalam "Jancok ayu tenan arek iku"). Intinya, saya sangat menolerir kata umpatan sepanjang bukan yang kasar dan merendahkan, misalkan anjing. Walaupun saya sangat menyukai anjing, tetapi saya mengerti bahwa bagi sebagian orang dikatai anjing terasa merendahkan. Kalau saya pribadi sih, lebih tersinggung kalau dipanggil maling, hehehe.
Setelah saya menjadi orang tua, bisa dibilang saya tidak terlalu menyaring 'keanekaragaman bahasa' yang diperoleh anak-anak dari pergaulan dengan anak-anak tetangga maupun teman-teman sekolah, sehingga beberapa bahasa kromo inggil (istilah candaan kami untuk umpatan, padahal sejatinya kromo inggil artinya bahasa jawa halus) kami rasa tidak perlu untuk ditertibkan. Toh anak-anak tidak bermaksud buruk, dan nanti semakin dilarang mereka malah akan semakin penasaran dengan arti kata-kata umpatan tersebut.
Semakin lama, saya perhatikan umpatan anak-anak berubah dari yang semula merupakan umpatan yang biasa digunakan orang sehari-hari (seperti asem, payah, kampret, dan sebagainya) menjadi menirukan umpatan para penjahat di film kartun Disney Junior (yang mana saya kadang heran mengapa film kartun, Disney pula, memasukkan umpatan di kurikulumnya. Mungkin itu pertanda baik bahwa mengumpat itu manusiawi, hehehe). Yang sering digunakan adalah 'bocah pengganggu' dan 'terkutuk' (oleh Captain Hook), 'otak burung', 'bocah kadal', dan 'kucing kecil berbulu' (oleh Romeo dan Gadis Luna di serial PJ Masks), dan yang terabsurd adalah 'biji pinus' dan 'kacang polong' (dari Toby dan Peck di Sheriff Callie's Wild West).
Beberapa teman saya mengernyit dengan kebijakan kromo inggil di rumah kami, bahkan kadang ada juga yang terang-terangan bilang bahwa kami seharusnya menertibkan bahasa anak-anak, karena lisan mencerminkan akhlak. Kata-kata yang manis dan santun artinya akhlak yang mulia.
Setelah saya menjadi orang tua, bisa dibilang saya tidak terlalu menyaring 'keanekaragaman bahasa' yang diperoleh anak-anak dari pergaulan dengan anak-anak tetangga maupun teman-teman sekolah, sehingga beberapa bahasa kromo inggil (istilah candaan kami untuk umpatan, padahal sejatinya kromo inggil artinya bahasa jawa halus) kami rasa tidak perlu untuk ditertibkan. Toh anak-anak tidak bermaksud buruk, dan nanti semakin dilarang mereka malah akan semakin penasaran dengan arti kata-kata umpatan tersebut.
Semakin lama, saya perhatikan umpatan anak-anak berubah dari yang semula merupakan umpatan yang biasa digunakan orang sehari-hari (seperti asem, payah, kampret, dan sebagainya) menjadi menirukan umpatan para penjahat di film kartun Disney Junior (yang mana saya kadang heran mengapa film kartun, Disney pula, memasukkan umpatan di kurikulumnya. Mungkin itu pertanda baik bahwa mengumpat itu manusiawi, hehehe). Yang sering digunakan adalah 'bocah pengganggu' dan 'terkutuk' (oleh Captain Hook), 'otak burung', 'bocah kadal', dan 'kucing kecil berbulu' (oleh Romeo dan Gadis Luna di serial PJ Masks), dan yang terabsurd adalah 'biji pinus' dan 'kacang polong' (dari Toby dan Peck di Sheriff Callie's Wild West).
Beberapa teman saya mengernyit dengan kebijakan kromo inggil di rumah kami, bahkan kadang ada juga yang terang-terangan bilang bahwa kami seharusnya menertibkan bahasa anak-anak, karena lisan mencerminkan akhlak. Kata-kata yang manis dan santun artinya akhlak yang mulia.
Benarkah? Saya pengen kasih lihat berita pilkada DKI deh. Screw kesantunan, hahaha.
Di samping alasan yang sangat fundamental ini, saya punya alasan yang lebih receh, yaitu membiarkan anak saya merasa bisa sedikit 'nakal', biar mereka cukup merasa badass dengan misuh sedikit... KACANG POLONG!!! Lalu move on, dan tidak penasaran dengan kenakalan lain. Bukankah kalau dilarang anak kecil akan semakin penasaran dan ujung-ujungnya kelakuannya makin susah dikendalilan?
Rupanya bukan cuma saya lho yang punya pikiran seperti itu. Dalam buku Bringing Up Bebe karya Pamela Drucker (salah satu buku parenting favorit saya) ada satu bagian di mana penulis mengatakan bahwa anak kecil perlu dibiarkan punya makian khusus untuknya sendiri. Kalau di buku ini, makian untuk anak yang ngetop di Paris sana adalah caca boudin (poop sausage). Mungkin padanannya kayak: tai ayam!!! Orang-orang di Paris sana konon memaklumi kalau ada anak kecil yang misuh CACA BOUDIN dan tidak menganggapnya kejahatan serius.
Lucu ya, anak kecil dikasih pakem tatacara misuh yang baik dan benar, hahaha.
Setelah membaca tentang caca boudin ini saya jadi merasa tidak terlalu menyalahi adat membiarkan kacang polong, kampret dan biji pinus sesekali muncul dalam khazanah berbahasa anak-anak saya. Lha wong mereka cuma butuh merasa badass, merasa nggaya dan keren saja lho...
Comments
Post a Comment