Suatu sore saya menonton serial Upin dan Ipin bersama kedua anak saya. Saya sendiri, juga Mr Defender, cukup menyukai serial satu ini. Selain terutama karena penggambaran karakternya yang sangat realistis (bandingkan dengan anak jagoan di serial Shiva atau Adit Sopo Jarwo, misalnya), juga karena jalan ceritanya yang (lagi-lagi) realistis dan dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Sore itu di Upin dan Ipin, anak-anak Kampung Durian Runtuh pergi mengaji. Digambarkan Ustadz yang mengajar ngaji orangnya menyenangkan dan senang menceritakan kisah nabi. Kali itu, dia bercerita tentang bahtera Nabi Nuh. Namun belum selesai dia bercerita, waktunya habis dan dia memutuskan ceritanya akan dilanjutkan esok hari.
Karena terbawa cerita seru dan penasaran dengan kelanjutannya, Upin Ipin mengobrolkan kisah Nabi Nuh dalam perjalanan pulang mengaji dengan sahabat-sahabatnya: Ehsan, Fizi dan Mail. Rupanya Mail sudah pernah mendengar cerita Nabi Nuh, sehingga anak yang lain menanyakan kelanjutannya. Pertanyaan-pertanyaan dilontarkan kepada Mail tentang bagaimana dan apa isi bahtera itu. Kurang lebih isi percakapannya begini:
Apa saja isi kapal? Manusia dan berbagai macam hewan.
Apakah di kapal ada harimau? Ada.
Apakah ada kancil? Ada.
Ah, masa begitu... Apakah harimau tak makan kancil? Tidak.
Ah, masa? Mengapa bisa begitu?
Percakapan masih ada kelanjutannya, namun akan saya hentikan di situ. Pada dua pertanyaan terakhir. Apakah harimau tidak memakan kancil? Dan bagaimana mungkin bisa begitu?
Ada yang menggelitik saya ketika saya mendengar dialog itu. Bukan, bukan tentang Nabi Nuhdan kapalnya, bukan juga tentang kisah mengaji. Tetapi kekritisan Upin, Ipin dan teman-temannya ketika didongengkan sebuah kisah nabi. Mereka tidak serta merta menganggukkan kepala dan mengiyakan begitu saja semua kisah itu mentah-mentah. Mereka memproses dengan nalarnya "masa harimau nggak makan kancil?"
Entah bagaimana kisah si harimau dan kancil di dalam kapal Nabi Nuh. Mungkin benar harimau memangsa kancil. Mungkin tidak karena Nabi Nuh mengkandangkan keduanya dan menyediakan makanan yang cukup. Mungkin mereka hidup damai karena sadar dunia sudah mau kiamat. Mungkin harimaunya vegetarian. Mungkin semuanya sesimpel kuasa Tuhan yang tak bisa dijelaskan dengan kasat mata manusia biasa.
Mungkin. Tapi yang terpenting bagi saya di sini adalah, Upin dan Ipin menggunakan akal sehat bahkan di saat mendengar kisah nabi. Bagaimana dengan kita orang dewasa (yang hidup di dunia nyata, bukan animasi)? Apakah semua doktrin agama (yang bahkan datangnya pun bukan dari ustadz seperti di kisah Upin Ipin) kita terima dan telan begitu saja? Atau lebih dulu kita saring, siapa sumbernya, bagaimana kredibilitas sang sumber, dari mana dia mengutip, apakah ada buktinya, apakah ini benar, apakah ini absah?
Pernahkah, untuk sekali saja saat mendengar doktrin agama (yang isinya kebencian buta), kita berpikir jernih, seperti Upin dan Ipin?
Ada yang menggelitik saya ketika saya mendengar dialog itu. Bukan, bukan tentang Nabi Nuhdan kapalnya, bukan juga tentang kisah mengaji. Tetapi kekritisan Upin, Ipin dan teman-temannya ketika didongengkan sebuah kisah nabi. Mereka tidak serta merta menganggukkan kepala dan mengiyakan begitu saja semua kisah itu mentah-mentah. Mereka memproses dengan nalarnya "masa harimau nggak makan kancil?"
Entah bagaimana kisah si harimau dan kancil di dalam kapal Nabi Nuh. Mungkin benar harimau memangsa kancil. Mungkin tidak karena Nabi Nuh mengkandangkan keduanya dan menyediakan makanan yang cukup. Mungkin mereka hidup damai karena sadar dunia sudah mau kiamat. Mungkin harimaunya vegetarian. Mungkin semuanya sesimpel kuasa Tuhan yang tak bisa dijelaskan dengan kasat mata manusia biasa.
Mungkin. Tapi yang terpenting bagi saya di sini adalah, Upin dan Ipin menggunakan akal sehat bahkan di saat mendengar kisah nabi. Bagaimana dengan kita orang dewasa (yang hidup di dunia nyata, bukan animasi)? Apakah semua doktrin agama (yang bahkan datangnya pun bukan dari ustadz seperti di kisah Upin Ipin) kita terima dan telan begitu saja? Atau lebih dulu kita saring, siapa sumbernya, bagaimana kredibilitas sang sumber, dari mana dia mengutip, apakah ada buktinya, apakah ini benar, apakah ini absah?
Pernahkah, untuk sekali saja saat mendengar doktrin agama (yang isinya kebencian buta), kita berpikir jernih, seperti Upin dan Ipin?
Comments
Post a Comment