Beberapa waktu yang lalu ketika saya dan keluarga berlayar (berlayar banget bahasanya) ke Sabah, saya tidak sengaja mendengar percakapan seru di antara penumpang kapal. Penumpang kapal yang pertama, seorang cici-cici berusia 40-an awal, dan yang kedua seorang pria yang sedikit lebih muda darinya. Keduanya ke Sabah untuk urusan bisnis. Si cici mau ke Tawau, si om mau ke Kota Kinabalu.
Banyak hal yang mereka perbincangkan: film Madu Tiga P Ramlee yang sedang diputar di kapal (ternyata filmnya kocak sekali!), hotel-hotel dengan harga terjangkau di Tawau, perjalanan darat Tawau ke Kinabalu yang lebih menyenangkan daripada perjalanan via udara, kurs ringgit terbaru di berbagai money changer, bisnis impor ekspor ilegal yang mulai sepi sejak Ibu Mentri Susi menenggelamkan kapal-kapal asing, cuaca dan lain-lain, namun ada satu yang paling menarik bagi saya. Percakapan itu kurang lebih berlangsung seperti ini.
Om: "Sepi bisnis sekarang ini, Ci. Sampai aku ambil-ambil proyek kecil-kecil, yah asal ada aja lah."
Cici" "Iya tuh, Om. Yah yang penting adalah rezeki kita-kita ini pedagang."
Om: "Iyalah tu biar sedikit asal halal pasti bertambah."
Cici: "Eh tapi susah bah membedakan uang halal dan haram sekarang ini, Om. Biar juga kita mencarinya halal, belum tentu tu uang yang sampai ke tangan kita itu halal."
Om: "Maksudnya bagaimana tuh Ci?"
Cici: "Misalkan nih aku jual barang sama kau, barangku ini halal punya. Tapi kau beli barangku dengan uangmu hasil korupsi, halalkah tu uangmu sampai ke aku?"
Om: "Betul juga Cici kata ni. Misalkan aku beli barang Cici dengan uang keringatku, tapi bos aku gaji aku dengan uang narkotik halal juga kah tuh?"
Cici: "Makanya Om, susah juga kita ini mau bicarakan halal, haram. Tak bisa kita atur-atur orang, pilih-pilih pembeli, tolak-tolak rezeki. Biar juga aku tau tu orang beli barangku dengan uang korupsi masa lah aku tolak, cam mana nanti bisnis ini."
Mereka masih melanjutkan perdebatan hangat itu beberapa lama. Sampai di situ saya berhenti menguping dan merenungkan percakapan sederhana yang sesungguhnya penuh makna itu. Halal dan haram. Sampai di mana kita mempertanyakan, sampai di mana kita berusaha mengejar atau menghindar.
Saya ingat seorang teman pernah berkata, hidup itu benar-benar persis seperti lambang yin dan yang. Ada putih, ada hitam. Ada hitam yang terperangkap di tengah putih, ada putih yang terjebak di tengah-tengah lingkaran hitam. Namun itulah hidup. Tak ada yang pernah bilang hidup itu mudah atau sederhana.
Om: "Sepi bisnis sekarang ini, Ci. Sampai aku ambil-ambil proyek kecil-kecil, yah asal ada aja lah."
Cici" "Iya tuh, Om. Yah yang penting adalah rezeki kita-kita ini pedagang."
Om: "Iyalah tu biar sedikit asal halal pasti bertambah."
Cici: "Eh tapi susah bah membedakan uang halal dan haram sekarang ini, Om. Biar juga kita mencarinya halal, belum tentu tu uang yang sampai ke tangan kita itu halal."
Om: "Maksudnya bagaimana tuh Ci?"
Cici: "Misalkan nih aku jual barang sama kau, barangku ini halal punya. Tapi kau beli barangku dengan uangmu hasil korupsi, halalkah tu uangmu sampai ke aku?"
Om: "Betul juga Cici kata ni. Misalkan aku beli barang Cici dengan uang keringatku, tapi bos aku gaji aku dengan uang narkotik halal juga kah tuh?"
Cici: "Makanya Om, susah juga kita ini mau bicarakan halal, haram. Tak bisa kita atur-atur orang, pilih-pilih pembeli, tolak-tolak rezeki. Biar juga aku tau tu orang beli barangku dengan uang korupsi masa lah aku tolak, cam mana nanti bisnis ini."
Mereka masih melanjutkan perdebatan hangat itu beberapa lama. Sampai di situ saya berhenti menguping dan merenungkan percakapan sederhana yang sesungguhnya penuh makna itu. Halal dan haram. Sampai di mana kita mempertanyakan, sampai di mana kita berusaha mengejar atau menghindar.
Saya ingat seorang teman pernah berkata, hidup itu benar-benar persis seperti lambang yin dan yang. Ada putih, ada hitam. Ada hitam yang terperangkap di tengah putih, ada putih yang terjebak di tengah-tengah lingkaran hitam. Namun itulah hidup. Tak ada yang pernah bilang hidup itu mudah atau sederhana.
Comments
Post a Comment