Skip to main content

Karena aku tidak mengerti kamu yang tidak mengerti dia.

Di antara teman-teman dekat saya, dulu saya paling lambat memiliki hubungan 'serius'. Saat Miss Turquoise sudah punya calon suami, Mr Cajoon punya pasangan lumayan serius (dalam artian mereka mempertimbangkan pernikahan), saya dan Mr Defender masih dalam tahap pacaran yang begitu-begitu saja dan tidak ke mana-mana (karena banyaknya persoalan yang mengganjal di antara kami sehingga terlalu dini rasanya bahkan untuk membicarakan apakah kami akan tetap bersama bulan depan). Setiap saya bersama Mr Cajoon, atau Miss Turquoise, dan mereka membicarakan hubungan seriusnya dan rencana masa depan bersama pasangan, saya selalu merasa begitu jauh, karena saya sendiri belum mencapai fase itu. Beberapa teman kuliah saya bahkan segera menikah tak lama setelah wisuda, dan walaupun saya selalu menghadiri pernikahan mereka dengan senang hati dan turut bahagia, ada sedikit perasaan cemas bahwa mereka mencapai apa yang belum saya capai.

Ada saatnya di mana saya masih sibuk jalan-jalan dan naik gunung, lalu ketika makan siang saya mengobrol dengan seorang teman dekat tentang keuangan. Saya mengeluhkan tiket pesawat ke Padang yang mahal sekali padahal saya berencana untuk naik Gunung Kerinci bulan depan; dia tersenyum dan menggeleng, "Aku sih udah nggak ada pos buat jalan-jalan begituan." Saya terkejut, karena kami dulu selalu berpetualang bersama. Maksud saya, ayolah, wajar saya mendapatkan reaksi bengong dari teman lain, tapi ini partner saya menjelajah gunung dan samudra, bagaimana bisa dia bicara begitu? "Aku lagi nabung buat DP rumah."

Dan di sanalah percakapan kami mendingin, tak hangat lagi. Saya tidak bisa mengerti dia. Dia mungkin bisa mengerti saya, tapi dia mungkin malas menjelaskan karena saya toh tak akan mengerti. Kami masih berteman baik setelah itu, hanya saja jarak di antara kami terasa merenggang dengan makin banyaknya perbedaan. Kemudian dia memiliki anak yang segera saja menuntut lebih banyak waktu dan perhatiannya, dan kami semakin jarang bertemu. Saat kami bertemu selalu akan ada suaminya, anaknya, dan teman-teman dekat kami yang lain yang juga sudah berkeluarga, lalu mereka akan membahas diskon pampers dan susu, memilih kontraktor untuk renovasi rumah, dan sedikit sekali yang bisa saya mengerti. Saya merasa terasing. Saya merasa ditinggalkan, walaupun saya yakin mereka tidak bermaksud begitu.

Untungnya saat itu saya masih punya Mr Cajoon yang hubungan seriusnya kandas (dan beralih ke hubungan serius lainnya), dan begitu saja saya masuk ke komunitasnya dan teman-temannya, penggila musik, film, dan kamera. Sekali lagi saya merasa menemukan dunia baru yang lebih memahami dan menerima saya. Kami menghabiskan banyak waktu yang menyenangkan, membuat banyak memori bodoh yang manis untuk dikenang. Seiring tahun berganti, saya juga semakin dewasa dan hubungan saya dengan Mr Defender memasuki fase baru yang lebih serius hingga akhirnya kami menikah, lebih dulu dari Mr Cajoon yang berganti dari satu pacar serius ke pacar serius lainnya.

Lalu sebagaimana roda kehidupan yang selalu berputar, sampailah saya di tahap yang dulu hanya bisa saya lihat dari jauh: berkeluarga, membina rumah tangga, berencana memiliki anak dan rumah dan sebagainya dan sebagainya yang membuat kami mengalokasikan uang, waktu, energi dan perhatian secara berbeda. Mengubah prioritas. Segala macam tiket konser dan paket liburan yang dulu sewaktu belum menikah menjadi hal yang sangat penting mendadak terasa biasa-biasa saja. Saya terpaksa absen saat Mr Cajoon dan teman-temannya berburu tiket Coldplay atau Sigur Ros. Sesuatu yang di masa lalu tak mungkin saya lewatkan. Saya tidak lagi bisa merencanakan naik Gunung Rinjani bersama beberapa teman dekat yang memutuskan pergi tak lama setelah saya melahirkan anak kedua. Bagaimana perasaan saya? Jujur, sama seperti dulu saya merasa terasing, merasa ditinggalkan, padahal mungkin di mata teman-teman saya yang belum menikah, justru sayalah yang meninggalkan mereka. Sayalah yang memasuki dunia baru. Dan memang begitulah hidup ini, semua orang pada saatnya akan memasuki fase baru dalam hidup, dan kadang fase baru itu berarti orang-orang baru dan mengucapkan perpisahan terhadap beberapa hal, beberapa orang.

Tak peduli berapa pun saya berusaha untuk tetap dekat dengan sahabat-sahabat lama, tak bisa dipungkiri bahwa ada saatnya saya merasa tidak dimengerti, atau sebaliknya, tidak memahami apa yang sedang mereka lalui. Ada saatnya yang bisa memahami obrolan saya adalah mereka yang sedang ada di fase yang sama dengan saya: sesama ibu di kantor atau mama-mama teman sekolah anak-anak saya. Ada hal-hal yang tidak bisa saya bicarakan kepada sahabat dekat saya dan sejujurnya itu menyisakan selarik perih di hati, bahwa kami ternyata tidak tumbuh bersama secara paralel, bahwa kami tidak memasuki satu fase bersama. Ada perasaan sepi yang muncul bahwa saya tidak ikut backpacking keliling Eropa bersama mereka, tidak hadir saat sekedar ngopi-ngopi di kafe rustic baru di ibukota, tidak ada saat momen-momen nggak penting tapi manis.

Tapi, sekali lagi saya menerima semuanya sebagai bagian dari pendewasaan, bagian tak terelakkan dari hidup yang selalu berubah. Saya tahu mereka tetap sahabat-sahabat terdekat saya, dan kami punya apa yang tidak kami miliki bersama orang lain: kenangan dan sejarah :).


Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita