Skip to main content

Bye, Bocor Halus

Pernah ngerasa nggak sih, gaji sudah lumayan besar tapi tanggal belasan udah ngos-ngosan sehingga di akhir bulan harus gesek kartu kredit? Atau, merasa sudah nggak pernah belanja-belanja barang bermerek tapi kok tabungan nggak nambah-nambah? Investasi jalan di tempat padahal sudah mengeliminasi liburan rutin? Hahaha, curhat banget ya. Kalau kata orang sih, kondisi keuangan bisa jadi seperti ini karena dompet kita mengalami bocor halus.

Bocor halus, atau kalau di istilah perencana keuangan sering disebut the latte factor, adalah pengeluaran-pengeluaran kecil yang tidak terasa saat dikeluarkan tetapi frekuensinya sering sehingga jumlahnya jadi banyak kalau dikumpulkan. Ya seperti untuk beli latte.


Besar kecilnya pengeluaran memang relatif ya buat setiap orang. Ada yang standar 'kecil' nya puluhan ribu, ada juga yang apa pun di bawah sejuta masih terasa kecil dan enteng saja mengeluarkan tanpa sadar. Namun pada umumnya bocor halus digunakan untuk menyebut pengeluaran yang per itemnya berkisar puluhan ribu. Beli kopi, teh susu kekinian, lipstik murah, burger, dan pengeluaran lain yang rasanya tidak signifikan sehingga kita keluarkan tanpa rasa bersalah, namun jika dijumlahkan di akhir bulan cukup bikin garuk-garuk kepala. Pernah dengar nggak sih, pekerja muda di Jakarta yang gajinya 27 juta tapi nggak punya tabungan? Setelah dijumlahkan, untuk ngopi-ngopi cantik aja dia habis lebih dari empat juta sebulannya.

Buat saya sendiri, bocor halus setelah menikah dan punya anak jadi beda dengan jenis bocor halus saat masih single: lipstik, kopi, jajan, buku. Setelah menikah, jika dianalisis lebih lanjut bocor halus saya punya pola sebagai berikut:

  • Bocor yang terjadi saat saya kelelahan atau kurang persiapan sebelumnya: membeli makanan siap saji saat saya harus lembur dan terlalu capek untuk masak sesampainya di rumah, membeli minuman atau jajanan karena lupa atau nggak sempat mempersiapkan bekal, sebungkus siomay saat saya sudah lapar banget dan nggak bawa bekal cemilan, dan pengeluaran sejenis yang umumnya berwujud makanan :P
  • Bocor yang terjadi saat saya sedang dalam 'tekanan' sosial: terjebak obrolan basa-basi dengan sesama ibu saat mengantar anak sekolah yang berujung membeli satu kotak makan tupperware misalnya :D
  • Bocor yang terjadi karena saya stress, jenuh, atau merasa sudah bekerja terlalu keras sehingga perlu memberi hadiah pada diri sendiri: membeli lipstik baru yang warnanya saya belum punya, sendal lucu nggak penting yang nggak dibutuhkan, agenda yang menarik di toko buku, dan perintilan cewek lainnya
  • Bocor yang terjadi karena saya merasa bersalah kepada anak-anak: mainan murah yang saya belikan ketika saya pulang terlambat, mengajak mereka membeli pizza dan es krim setelah saya merasa agak keterlaluan memarahi mereka, dan sebagainya.

Kompleks ya? Hahaha. Bocor-bocor beginian memang tampak halus, tapi sebagaimana ban yang bocor halus, lama-lama bisa kempes atau bahkan robek juga. Makanya setelah saya menyadari pola-pola jebakan betmen dari si bocor halus ini, saya mencoba mengatasinya, walau nggak selalu sukses juga:
  • Mengatasi bocor yang terjadi saat saya kelelahan atau kurang persiapan sebelumnya: klise sih, intinya jangan malas, kalau sudah tahu nanti malam lembur ya paginya sempatkan masak untuk makan malam atau minimal potong-potong bahan. Untuk kondisi darurat seperti bangun kesiangan, ya siapkan makanan siap saji seperti nugget atau sarden di kulkas. Kadang sih nggak berhasil juga karena saya malas makan nugget atau sarden atau indomi, tapi saya kasih batas maksimal makan di luar berapa kali sebulan, kalau jatahnya sudah habis ya artinya harus makan di rumah.
  • Mengatasi bocor yang terjadi saat saya sedang dalam 'tekanan' sosial: kadang memang ada kalanya harus beli sesuatu ya demi pergaulan, hahaha, saya sendiri nggak mau menjadi si nggak asik yang nggak mau beli apa-apa. Tapi ya batasi diri aja, belinya sesekali aja, dan beli barang yang memang dibutuhkan.
  • Mengatasi bocor yang terjadi karena saya stress, jenuh, atau merasa sudah bekerja terlalu keras sehingga perlu memberi hadiah pada diri sendiri: ini paling susah karena biasanya keinginan memang nggak terbendung, tapi saya coba alihkan dengan dua syarat: beli barang yang bisa dinikmati bersama keluarga dan habis pakai sehingga nggak bikin 'sampah' (misalnya makanan yang jarang dibeli atau sekalian aja spa di salon). Lebih bagus lagi kalau bisa diatasi dengan olahraga, jalan ke taman bareng suami, masak enak sama anak-anak, atau nonton serial favorit aja.
  • Mengatasi bocor yang terjadi karena saya merasa bersalah kepada anak-anak: intinya kontrol diri, karena bagaimana pun apa yang hilang yang nggak bisa saya berikan untuk anak-anak tidak bisa digantikan dengan barang atau uang. Jadi ya selesaikan kerjaan tepat waktu biar nggak perlu lembur, banyakin stok sabar biar nggak merasa bersalah karena marah melulu, sediakan banyak waktu buat main sama mereka. Hanya saja kan saya juga bukan mama jagoan apalagi ibu super ya, jadi ya tetap aja kadang-kadang muncul kejadian yang bikin saya merasa bersalah sama anak-anak. Namun saya usahakan saya mengganti waktu yang hilang dengan waktu dan kehadiran saya juga: sesi gambar bersama, ajak mereka jalan-jalan, ajari mereka masak atau kegiatan seru lain. Hal ini terutama juga biar saya nggak segampang itu untuk meninggalkan mereka dengan dalih 'ah nanti tinggal dibeliin mainan'. Ini sih konsekuensinya lebih berat dibanding cuma bocor halus.
Yah, semoga aja bocor halus makin jarang terjadi (kalau bilang nggak pernah kan nggak mungkin, namanya juga manusia). Biar keuangan tetap rapi dan makin disayang suami, eciyeee...


Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,

Kurikulum

Suatu sore, saat saya sedang pusing mengatur jadwal les dan jadwal belajar anak-anak, seorang sahabat lama menyapa lewat pesan singkat. Saya belum sempat membacanya hingga sejam kemudian, karena mengatur jadwal dan kurikulum ekstra anak-anak ini sungguh menguras waktu, energi, dan pikiran. Mengapa? Karena sejak anak masuk sekolah tiba-tiba saya jadi berubah mirip Amy Chua yang ingin anaknya bisa segala hal. Apalagi Mbak Rocker nampak berminat dengan semua kegiatan: main piano, renang, bahasa Inggris dan Mandarin, melukis, taekwondo... Belum lagi hal lain yang tidak dipilihnya namun wajib dilakukan karena dia harus bisa: mengaji, berbahasa Arab dan Jawa, memasak dan berkebun hahaha... semuanya harus dijadwalkan. Kalikan dengan tiga anak, maka habislah waktu ibu mengatur jadwal (serta mengantar jemput). 'Kurikulum' anak-anak memang lumayan padat. Kembali ke pesan singkat teman saya tadi. Dia mengirim pesan panjang yang berisi keluh kesah kehidupan rumah tangganya. Saya cuku

Mau Jadi Apa?

Kembali ke topik yang pastinya membuat mereka yang sudah membaca blog ini sejak lama muntah atau minimal menguap saking bosannya: karir dan passion . Hahaha, muntah, muntah deh. Brace yourself. Sebab ini merupakan salah satu topik pencarian diri yang memang belum berakhir untuk saya (dan mungkin tidak akan berakhir). Begini, ya, seperti yang semua orang tahu, saat ini saya tidak berkarir di bidang yang sesuai dengan minat saya. Bahkan, saya sendiri tidak tahu minat saya apa. Apakah saya sudah mencoba pepatah bijak jika tidak bisa mengerjakan yang kamu cintai, cintailah apa yang saat ini kamu kerjakan? Hm, sudah, sejuta kali, dan sebesar apa pun saya berusaha tidak mengeluhkan pekerjaan saya, saya memang tidak bisa bilang saya cinta, apalagi menyatakan ini adalah passion saya. Jangan salah, saya bersyukur atas pekerjaan saya, dan saya menikmati semua yang pekerjaan ini berikan: gaji yang cukup untuk hidup layak, waktu yang longgar untuk menikmati anak-anak saya bertumbuh, fasilita