Skip to main content

Kita semua hanya berusaha untuk tidak tenggelam.

Live and let live. Kalimat itu selalu berusaha saya tanamkan di pikiran saya setiap kali terlintas untuk menghakimi, mengomentari, atau menyinyiri orang atau keadaan di sekitar saya. Semua orang punya perjuangan dan alasannya sendiri untuk melakukan atau tidak melakukan apapun itu. Karena itu saya sudah lama berhenti memperhatikan apa yang orang asing lakukan: artis, selebgram, segerombolan ibu-ibu arisan... apapun konteksnya. Pilihan cara melahirkan, tebal make up, jumlah arm candy di tangan, cara mendidik anak, pilihan caleg saat pilkada... selama tidak membahayakan hidup saya, I just live and let live. Hidup lebih damai seperti itu. (Tentu saja kalau orangnya Fahri Hamzah, Fadli Zon atau Jokowi, sulit untuk live and let them live their life karena apa yang mereka lakukan mempengaruhi nasib rakyat banyak, termasuk saya. Tapi itu beda hal, dan butuh satu posting panjang berbeda).

Hanya saja, terkadang sulit untuk live and let live apabila objeknya adalah orang-orang yang kita pedulikan. Orang-orang terdekat yang kita sayang. Sulit untuk membiarkan saja pasangan kita menjadi alkoholik atau perokok, misalnya. Sulit untuk tidak berkomentar saat sahabat kita terseret dalam toxic relationship. Tentunya ada perasaan kita ingin mengubah orang terdekat kita menjadi lebih baik. Kita tidak ingin orang tersayang kita berada dalam masalah. Itu wajar, tentunya.

Namun seringkali, pendapat dan sudut pandang kita berbeda dengan orang tersayang kita. Apa yang menurut kita baik, apa yang menurut kita salah belum tentu sama dengannya. Dan kadang, tanpa sadar kita melukai perasaannya, karena apa yang menurut kita 'menolong' ternyata terasa seperti invasi baginya.

Butuh waktu lama bagi saya untuk sadar itu. Butuh hidup saya akhirnya diinvasi sebelum saya sendiri introspeksi apakah saya selama ini juga telah mengintervensi hidup orang-orang di sekitar saya.

Dukungan itu perlu, tetapi kadang kita perlu mengambil jarak, sebab biar bagaimana pun itu bukanlah hidup kita. Kecuali tentu saja kita melihat dengan jelas bahwa orang tersayang itu memang dalam bahaya. Kita harus hargai bahwa dia juga sedang berusaha, berjuang untuk hidupnya.


Comments

Popular posts from this blog

sepatu

Pengakuan. Saya (pernah) punya lebih dari 50 pasang alas kaki. Terdiri atas sepatu olahraga, sneakers, high heels, wedges, flat shoes, sandal-sandal cantik, flip flop, sendal gunung, hampir semua model sepatu dan sandal (waktu itu) saya punya. Ada yang dibeli dengan tabungan beberapa bulan, khususnya yang sepatu kantor dan olahraga, tapi sebagian besar berasal dari rak diskon (untungnya ukuran saya 35 up to 36 sehingga sewaktu sale di mana-mana penuh ukuran itu dengan harga super miring, bahkan sering saya dapat sepatu Yongki dengan hanya 20 ribu rupiah saja) atau hasil jalan-jalan di Melawai. Sewaktu saya pindahan dari Jakarta ke Samarinda, Mr Defender sangat syok dengan paket yang berisi baju, sepatu, tas, dan asesoris saya yang jumlahnya mencapai 20 kardus Aqua besar (jangankan dia, saya pun syok). Lalu ketika akhirnya lemari di kos baru saya nggak muat menampung itu semua dan akhirnya sebagian besar dari 20 kardus itu terpaksa tetap dikardusin, setiap saya naksir baju, sepatu,...

Sekolah Baru

Selamat tahun ajaran baru! Tahun ini Mbak Rocker masuk Sekolah Dasar di sekolah swasta yang sudah kami pertimbangkan bersama masak-masak selama beberapa waktu lamanya. Tambahan yang tak terduga, si Racun Api mendadak mogok sekolah di sekolah lamanya sehingga kami memutuskan untuk memindahkannya ke Taman Kanak-Kanak yang satu yayasan dengan sekolah kakaknya sekarang. Tentu saja walaupun mendadak dan tanpa rencana, proses pindah sekolah ini berlangsung dengan huru-hara dan drama singkat yang puji syukur bisa teratasi tanpa perlu ikut drama di media sosial. Yang penting, tahun ajaran baru datang dan anak-anak sudah bersekolah di sekolah baru. Amin! Allahu akbar! Bersekolah di sekolah baru ini, sungguh membuka mata saya tentang banyak hal. Terutama, tentang bagaimana rasanya menjadi minoritas. Saya lupa apakah sudah pernah bercerita, tetapi sekolah anak-anak yang sekarang menggunakan bahasa Inggris dan Mandarin sebagai pengantarnya. Tentu saja kami sudah tahu sebelumnya, dan bahkan ...

Cyin, Pertanyaan Lo Gengges Deh!

Kemarin, entah untuk ke berapa ratus kalinya saya mendapat pernyataan (sekali lagi pernyataan bukan pertanyaan) yang sama: "Kamu kok nggak nikah-nikah sih." Saya sih sudah kehilangan selera menjawab. Soalnya, apa pun jawaban saya pasti salah deh. Mereka yang ngajak ngomong itu emang nggak niat pengen diskusi, apalagi perhatian. Niat mereka cuma mencerca dan menyudutkan, itu saja. Jadi mau saya jawab apa pun, selalu di-counter lagi sama dia. Saya sampai hafal kalau saya jawab A, mereka bakal balas B. Misalnya saya jawab, pengen kuliah lagi, pasti mereka balas, apa sih artinya pendidikan tinggi kalau nggak punya keluarga, apa yang mau diharapkan nanti di masa tua, pasti hidupnya hampa. Lalu kalau saya jawab lagi, prioritas hidup orang kan beda-beda, siapa tahu bagi mereka yang karir dan pendidikan tinggi tapi nggak membangun keluarga itu emang nggak pengen berkeluarga, kan? Siapa tahu mereka bahagia hidup sendiri. Tapi kalau saya jawab begini, pasti jadi panjang, dan s...